|  | Memang dinamika Bumi baru diakui pada tahun 60-an lalu, ketika teori
 pergerakan lempeng tektonik dari ahli geofisika dan meteorologi Jerman,
 Alfred Wegener dapat dibuktikan secara ilmiah. Padahal Wegener pertama
 kali mengungkapkan teorinya mengenai kerak Bumi yang terus bergerak
 pada tahun 1912. Memang Wegener bukan ilmuwan pertama yang meyakini,
 bahwa benua-benua di dunia terus bergerak. Hanya saja Wegener-lah yang
 pertama kalinya meneliti secara intensif dan mempublikasikan penelitian
 ilmiahnya.
 Teori pergerakan lempeng benua atau „continental drift“ dari Wegener
 mula-mula ditanggapi pro dan kontra. Penentang paling gigih dari teori
 pergerakan lempeng benua dari Wegener adalah pakar geologi Dr.Rollin
 Chamberlain dari Universitas Chicago. Chamberlain bahkan menyebutkan,
 teori Wegener samasekali tidak memiliki landasan. Salah satu kelemahan
 teori Wegener saat itu adalah, ia tidak dapat menjelaskan mekanisme
 dari gerakan kerak bumi. Kesalahan teori, juga menyebabkan kesalahan
 perhitungan kecepatan pergerakan pemisahan benua Amerika Utara dan
 Eropa .
 Benua besar Pangea
 Teori Wegener, sebetulnya terinspirasi oleh makalah ilmiah, mengenai
 kesamaan flora dan fauna serta fossil di antara dua benua yang
 berjauhan yang dipisahkan samudra Atlantik. Dalam penelitaannya
 kemudian, Wegener menemukan lebih banyak fenomena kesamaan flora dan
 fauna atau fossilnya, di kawasan yang dipisahkan samudra luas. Ilmu
 pengetahuan di awal abad ke 20 memang masih menganut teori ortodox yang
 sekarang kedengarannya menggelikan. Ketika itu masih dipercaya adanya
 semacam jembatan daratan, yang kemudian tenggelam ke samudra luas.
 Namun Wegener membantah teori jembatan daratan, dan melontarkan
 aksioma, bahwa benua-benua itu di masa lalu pasti bersatu.
 Alfred Wegener mengajukan teori adanya benua besar Pangea sampai
 sekitar 300 juta tahun lalu, di akhir zaman Karbon. Setelah itu, benua
 besar Pangea pecah dan terpisah-pisah menjadi benua yang kita kenal
 sekarang. Hanya saja, Wegener melakukan kesalahan, dengan menduga
 mekanismenya dipicu oleh gaya sentrifugal rotasi bumi.
 Ketika teori lempeng tektonik nyaris dilupakan, pada tahun 1929
 pakar geologi Inggris, Arthur Holmes melontarkan teori mengenai gaya
 konveksi inti bumi, yang mampu menerangkan mekanisme gerakan lempeng
 tektonik dari Wegener. Sayangnya Wegener tidak dapat menikmati
 sukesnya, karena ia meninggal pada tahun 1930 dalam usia 50 tahun
 ketika melakukan ekspedisi ke Greenland.
 Pergerakan lempeng tektonik
 Pembuktian teori Wegener dikukuhkan pada tahun 1960, oleh pakar
 geologi AS Harry Hess. Ketika itu, Hess melakukan penelitian rangkaian
 gunung api di bawah samudra Atlantik  yang dijuluki “mid ocean ridge“,
 yang ditemukan tahun 1953. Pada tahun 1960 Hess mempublikasikan hasil
 penelitiannya, yang berisi hipotesa bahwa landas samudra mengembang,
 akibat aktivitas magmatis dari inti bumi.
 Disebutkan, semburan magma di sepanjang patahan di dasar laut,
 mendesak lempengen tektonik sejauh beberapa sentimeter per tahunnya.
 Dengan itu, dapat diterangkan teori Wegener mengenai pergerakan lempeng
 tektonik.
 Sekarang, teori tektonik lempeng dari Alfred Wegener, merupakan arus
 utama dalam ilmu kebumian. Padahal ketika pertama dilontarkan, hanya
 sedikit ahli geologi maupun geofisika yang mendukung teori tsb. Dengan
 teori pergerakan lempeng tektonik dari Wegener, yang ditunjang teori
 konveksi lapisan astenosphere dari Holmes dan Hess, kini dinamika di
 dalam perut Bumi dapat dimengerti lebih jelas.
 Terbukti, bahwa benua-benua tidak terpancang erat, tapi terus
 bergerak saling menjauh atau saling bertumbukan. Manusia tinggal di
 atas lempengen kerak Bumi yang terus bergerak, bertumbukan atau saling
 terpisah yang berarti ancaman bencana setiap saat.
 Zona kegempaan dan vulkanisme
 Dengan berlandaskan teori pergerakan lempeng tektonik, dapat
 dijelaskan fenomena gempa bumi di sepanjang zone tumbukan dua lempeng,
 aktivitas gunung api di sepanjang zone subduksi, atau juga terbentuknya
 samudra seperti Atlantik. Setelah diketahui adanya rangkaian gunung api
 di dasar samudra pada tahun 1953 lalu, para ahli geologi dan geofisika
 mulai meyakini, adanya dinamika bumi yang amat kompleks. Lempeng
 tektonik samudra maupun lempeng tektonik benua, yang ketebalannya
 rata-rata sekitar 40 km, sama-sama mengambang di atas asthenospere yang
 cair.
 Jika dua atau lebih lempeng tektonik saling bertumbukan, lempeng
 yang berat jenisnya lebih berat akan menyusup ke bawah lempeng yang
 berat jenisnya lebih ringan. Biasanya lempeng tektonik samudra lebih
 berat ketimbang lempeng tektonik benua. Gerakan atau gesekan di zone
 tumbukan atau disebut zone subduksi biasanya juga berjalan amat lambat,
 hanya beberapa sentimeter per tahunnya.
 Energi tumbukan dua lempeng benua, yang membentuk zone subduksi,
 seperti di palung Jawa di Samudra Hindia terus terkumpul selama ratusan
 tahun atau ribuan tahun. Jika suatu saat tercapai kejenuhan tekanan
 atau regangan, dua lempeng tektonik yang bertumbukan akan melepaskan
 energinya secara tiba-tiba. Inilah yang disebut gempa bumi.
 Prediksi gempa
 Gempa Aceh yang berkekuatan 9.0 pada skala Richter atau gempa Nias
 yang berkuatan 8,7 pada skala Richter dan terakhir gempa Padang yang
 berkekuatran 6,8 pada skala Richter, merupakan dampak dari pergerakan
 lempeng tektonik tsb. Dari sejarah geologinya, para peneliti kebumian
 juga dapat memprediksi kemungkinan terjadinya rangkaian gempa atau
 peningkatan aktivitas gunung api. Tentu saja ramalannya tidak dapat
 akurat sampai jam atau harinya, namun dalam bilangan bulan atau tahun.
 Juga dimana lokasi episentrum gempa berikutnya, tidak dapat diramalkan
 dengan akurat, karena tumbukan dua lempeng tektonik merupakan zone yang
 panjangnya ratusan sampai ribuan kilometer, dengan dinamika amat rumit.
 Misalnya saja, kemungkinan gempa hebat di Palung Jawa yang merupakan
 zone subduksi lempeng Indo-Australia yang bertumbukan dengan lempeng
 Sunda, sebetulnya sudah diprediksi beberapa bulan sebelumnya. Pakar
 gempa Indonesia, Dr.Dany Hilman Natawidjaya dari Puslitbang
 Geoteknologi LIPI, pada awal bulan Oktober sudah memprediksi
 kemungkinan gempa di zone subduksi Mentawai, yang terletak di sepanjang
 zone subduksi Palung Jawa.
 Memang bukan gempa Aceh, namun cocok dengan peristiwa gempa Padang.
 Juga peningkatan aktivitas gunung api di sepanjang zone subduksi,
 seperti gunung Talang atau gunung anak Krakatau, merupakan rentetan
 logis dari dampak pergerakan lempeng benua. Jadi tepat 75 tahun setelah
 Alfred Wegener meninggal, teorinya yang dulu ditertawakan, kini
 terbukti menjadi landasan utama bagi penjelasan dinamika bumi.
 
 |  | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar