Posted on February 22, 2008 by chevy
2.2 Tinjauan Teori Lokasi
Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2006:77).
Salah satu hal banyak dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis ini dapat dikembangkan untuk melihat suatu lokasi yang memiliki daya tarik terhadap batas wilayah pengaruhnya, dimana orang masih ingin mendatangi pusat yang memiliki daya tarik tersebut. Hal ini terkait dengan besarnya daya tarik pada pusat tersebut dan jarak antara lokasi dengan pusat tersebut.
Terkait dengan lokasi maka salah satu faktor yang menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006:78). Menurut Tarigan, tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut.
Dalam analisis kota yang telah ada atau rencana kota, dikenal standar lokasi (standard for location requirement) atau standar jarak (Jayadinata, 1999:160) seperti terlihat pada tabel 2.1 berikut:
Sumber: Chapin dalam Jayadinata (1999:161)
Standar yang digunakan harus menggunakan jenis transportasi yang sama seperti pada tabel di atas diukur berdasarkan waktu tempuh dengan berjalan kaki.
2.2.1 Teori Tempat Pemusatan
Suatu tempat merupakan pusat pelayanan. Menurut Christaller, pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terlihat dengan jelas di wilayah yang mempunyai dua syarat: (1) topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan, (2) kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batu bara.
Dalam keadaan yang mempunyai kedua syarat seperti di atas itu akan berkembang tiga hal (Jayadinata, 1999:180) seperti diterangkan di bawah ini.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dijelaskan model Christaller tentang terjadinya model area pelayanan heksagonal sebagai berikut: (Tarigan, 2006:80)
2.2.2 Pola Tata Guna Tanah Perkotaan
Dalam pola tata guna tanah perkotaan yang berhubungan dengan nilai ekonomi, terdapat beberapa teori sebagai berikut:
2.2.2.1 Teori Jalur Sepusat
Teori jalur sepusat atau Teori Konsentrik (Consentric Zone Theory) E.W. Burgess, mengemukakan bahwa kota terbagi sebagai berikut: (Jayadinata, 1999:129)
(1) Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (central business district atau CBD) yang terdiri atas: bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan toko pusat perbelanjaan;
(2) Pada lingkaran tengah pertama terdapat jalur alih: rumah-rumah sewaan, kawasan industri, perumahan buruh;
(3) Pada lingkaran tengah kedua terletak jalur wisma buruh, yakni kawasan perumahaan untuk tenaga kerja pabrik;
(4) Pada lingkaran luar terdapat jalur madyawisma, yakni kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja halus dan kaum madya (middle class);
(5) Di luar lingkaran terdapat jalur pendugdag atau jalur pengelajon (jalur ulang-alik); sepanjang jalan besar terdapat perumahan masyarakat golongan madya dan golongan atas atau masyarakat upakota.
2.2.2.2 Teori Sektor
Teori sektor (Sector Theory) menurut Humer Hoyt yang mengatakan bahwa kota tersusun sebagai berikut: (Jayadinata, 1999:130)
(1) Pada lingkaran pusat terdapat pusat kota;
(2) Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan;
(3) Dekat pusat kota dan dekat sektor tersebut di atas, pada bagian sebelah menyebelahnya, terdapat sektor murbawisma, yaitu kawasan tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh;
(4) Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor madyawisma;
(5) Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, kawasan tempat tinggal golongan atas.
2.2.2.3 Teori Pusat Lipatganda
Teori pusat lipatganda (Multiple Nuclei Concept) menurut R. D. Mc Kenie menerangkan bahwa kota meliputi: pusat kota, kawasan kegiatan ekonomi, kawasan hunian, dan pusat lainnya. Teori ini umumnya berlaku untuk kota-kota yang agak besar. Menurut teori ini kota terdiri atas: (Jayadinata, 1999:132)
(1) Pusat kota atau CBD;
(2) Kawasan niaga dan industri;
(3) Kawasan murbawisma, tempat tinggal berkualitas rendah;
(4) Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah;
(5) Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi;
(6) Pusat industri berat;
(7) Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran;
(8) Upakota, untuk kawasan madyawisma dan adiwisma;
(9) Upakota (suburb) untuk kawasan industri.
Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2006:77).
Salah satu hal banyak dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis ini dapat dikembangkan untuk melihat suatu lokasi yang memiliki daya tarik terhadap batas wilayah pengaruhnya, dimana orang masih ingin mendatangi pusat yang memiliki daya tarik tersebut. Hal ini terkait dengan besarnya daya tarik pada pusat tersebut dan jarak antara lokasi dengan pusat tersebut.
Terkait dengan lokasi maka salah satu faktor yang menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006:78). Menurut Tarigan, tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut.
Dalam analisis kota yang telah ada atau rencana kota, dikenal standar lokasi (standard for location requirement) atau standar jarak (Jayadinata, 1999:160) seperti terlihat pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1
Standar Jarak Dalam Kota
No | Prasarana | Jarak dari tempat tinggal (berjalan kaki) |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 | Pusat tempat kerjaPusat kota (dengan pasar, dan sebagainya)Pasar lokal Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Lanjutan Atas Tempat bermain anak-anak dan taman lokal Tempat olah raga dan pusat lalita (rekreasi) Taman untuk umum atau cagar (seperti kebun binatang, dan sebagainya | 20 sampai 30 menit30 sampai 45 menit¾ km atau 10 menit ¾ km atau 10 menit 1 ½ km atau 20 menit 20 atau 30 menit ¾ km atau 20 menit 1 ½ km atau 20 menit 30 sampai 60 menit |
Standar yang digunakan harus menggunakan jenis transportasi yang sama seperti pada tabel di atas diukur berdasarkan waktu tempuh dengan berjalan kaki.
2.2.1 Teori Tempat Pemusatan
Suatu tempat merupakan pusat pelayanan. Menurut Christaller, pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terlihat dengan jelas di wilayah yang mempunyai dua syarat: (1) topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan, (2) kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batu bara.
Dalam keadaan yang mempunyai kedua syarat seperti di atas itu akan berkembang tiga hal (Jayadinata, 1999:180) seperti diterangkan di bawah ini.
- Ajang jasa (ajang niaga) akan berkembang secara wajar di seluruh wilayah dengan jarak dua jam berjalan kaki atau 2 x 3,5 = 7 km. Secara teori tiap pusat pelayanan melayani kawasan yang berbentuk lingkaran dengan radius 3,5 km (satu jam berjalan kaki), jadi pusat wilayah layanan akan terletak di pusat kawasan tersebut. Teori ini disebut teori tempat pemusatan (central place theory).
- Kawasan-kawasan berbentuk lingkaran yang saling berbatasan, walaupun bentuk lingkaran adalah paling efisien, akan mempunyai bagian-bagian yang bertumpang tindih atau bagian-bagian yang senjang (kosong), sehingga bentuk lingkaran itu tidak biasa digunakan untuk kawasan atau wilayahnya. Berhubung dengan itu Christaller mengemukakan bahwa pusat pelayanan akan berlokasi menurut pola heksagon, sehingga wilayah akan saling berbatasan tanpa bertumpang tindih.
- Dalam wilayah akan berkembang ajang niaga dalam pola heksagon. Yang palng banyak adalah dusun-dusun sebagai pusat perdagangan yang melayani penduduk wilayah pedesaan. Satu dusun dengan dusun lainnya akan menempuh jarak 7 km.
Gambar 2.2 Hipotesis Christaller
Dalam asumsi yang sama dengan Christaller, Lloyd (Location in space, 1977) melihat bahwa jangkauan/luas pelayanan dari setiap komoditas itu ada batasnya yang dinamakan range dan ada batas minimal dari luas pelayanannya dinamakan threshold. (Tarigan, 2006:79)Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dijelaskan model Christaller tentang terjadinya model area pelayanan heksagonal sebagai berikut: (Tarigan, 2006:80)
- Mula-mula terbentuk area pelayanan berupa lingkaran-lingkaran. Setiap lingkaran memilik pusat dan menggambarkan threshold. Lingkaran-lingkaran ini tidak tumpang tindih seperti pada bagian A dari Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Kronologi terjadinya area pelayanan heksagonal
- Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari pelayanan tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih seperti terlihat pada bagian B.
- Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh dataran yang tidak lagi tumpang tindih, seperti terlihat pada bagian C.
2.2.2 Pola Tata Guna Tanah Perkotaan
Dalam pola tata guna tanah perkotaan yang berhubungan dengan nilai ekonomi, terdapat beberapa teori sebagai berikut:
2.2.2.1 Teori Jalur Sepusat
Teori jalur sepusat atau Teori Konsentrik (Consentric Zone Theory) E.W. Burgess, mengemukakan bahwa kota terbagi sebagai berikut: (Jayadinata, 1999:129)
(1) Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (central business district atau CBD) yang terdiri atas: bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan toko pusat perbelanjaan;
(2) Pada lingkaran tengah pertama terdapat jalur alih: rumah-rumah sewaan, kawasan industri, perumahan buruh;
(3) Pada lingkaran tengah kedua terletak jalur wisma buruh, yakni kawasan perumahaan untuk tenaga kerja pabrik;
(4) Pada lingkaran luar terdapat jalur madyawisma, yakni kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja halus dan kaum madya (middle class);
(5) Di luar lingkaran terdapat jalur pendugdag atau jalur pengelajon (jalur ulang-alik); sepanjang jalan besar terdapat perumahan masyarakat golongan madya dan golongan atas atau masyarakat upakota.
2.2.2.2 Teori Sektor
Teori sektor (Sector Theory) menurut Humer Hoyt yang mengatakan bahwa kota tersusun sebagai berikut: (Jayadinata, 1999:130)
(1) Pada lingkaran pusat terdapat pusat kota;
(2) Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan;
(3) Dekat pusat kota dan dekat sektor tersebut di atas, pada bagian sebelah menyebelahnya, terdapat sektor murbawisma, yaitu kawasan tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh;
(4) Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor madyawisma;
(5) Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, kawasan tempat tinggal golongan atas.
2.2.2.3 Teori Pusat Lipatganda
Teori pusat lipatganda (Multiple Nuclei Concept) menurut R. D. Mc Kenie menerangkan bahwa kota meliputi: pusat kota, kawasan kegiatan ekonomi, kawasan hunian, dan pusat lainnya. Teori ini umumnya berlaku untuk kota-kota yang agak besar. Menurut teori ini kota terdiri atas: (Jayadinata, 1999:132)
(1) Pusat kota atau CBD;
(2) Kawasan niaga dan industri;
(3) Kawasan murbawisma, tempat tinggal berkualitas rendah;
(4) Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah;
(5) Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi;
(6) Pusat industri berat;
(7) Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran;
(8) Upakota, untuk kawasan madyawisma dan adiwisma;
(9) Upakota (suburb) untuk kawasan industri.
Gambar 2.4 Teori mengenai pola penggunaan tanah di kota
Filed under: Penelitian, Penelitian 1
Utopia mempunyai arti adalah perencanaan yang hanya baru di bangun dalam bentjuk pemikiran atau perencanaan yang belum tertuangkan dalam bentuk verbal dan atau perencanaan yang masih dalam khayalan.
Contohnya;
Membangun suatu kota yang mampu melayani setiap kebutuhan masyarakat yang ada aatsau ayag berdimisili di kota tersebut. Tapi dengan keadaan penduduk yang masih memahami kepercayaan paada dinamisme dan animisme.
Pragmatis merupakan bukti nyata dalam mainstream masyarakat saat ini. Ini terjadi manakala kebutuhan jangka pendek dianggap solusi alternatif efektif dalam memecahkan ragam persoalan. Pun, cara pandang praktis dan pragmatis mengendap akut dalam nurani masyarakat kita, baik sebagai perumus maupun pengambil kebijakan, dan masyarakat yang merasakan side effect dari sebuah kebijakan.
Contohnya.
Selama ini masyarakat menjadi tumbal kebijakan, karena tidak terlibat dalam poses perencanaan, pelaksanaan sampai pada monitoring dan evaluasi sebuah program pembangunan, sehingga masyarakat teralienasi dengan kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Akhirnya pembangunan seringkali berujung pada kegagalan yang bertubi-tubi, tidak efisien dan tidak efektif.
Kiranya kegagalan dalam pembangunan yang digarap dengan model kebijakan top-down meniyisakan aneka persoalan ini menjadi refleksi kritis kontemplatif bagi pengagas dan pelaku pembangunan, baik dari pemerintah sebagai pembuat dan penentu kebijakan maupun dari kalangan NGO, yang secara kultural lebih leluasa dalam membangun masyarakat dari berbagai segi.
2.Bottom up vs Top down plannig
Proses perencanaan top-down dan bottom ap
Proses top-down versus bottom-up lebih mencerminkan proses perencanaan di dalam pemerintahan yaitu dari lembaga/departemen dan daerah ke pemerintah Pusat. lembaga/departemen/daerah dan bottom-up ini dilaksanakan dengan tujuan antara lain menyelaraskan program-program untuk menjamin adanya sinergi/konvergensi dari semua kegiatan pemerintah dan masyarakat. Penyelarasan rencana-rencana lembaga pemerintah dilaksanakan melalui musywarah perencanaan yang dilaksanakan baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota.
Menurut Kartasasmitha1.
Bahwa Penentuan program pembangunan oleh masyarakat yang bersangkutan merupakan bentuk perencanaan dari bawah, dari akar rumput bawah atau sering disebut Bottom-Up Planning, peningkatan masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat (social empowering) secara nyata dan terarah.
Contoh Top down
Pada tingkat LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) dan Rakordang ( Rapat Koordinasi Pembangunan) seringkali ditemukan adanya dominasi sektoral dalam proses tawar menawar program tanpa melihat dan mempertimbangkan usulan yang muncul dari bawah. Kondisi ini juga dimungkinkan karena memang usulan dari bawah tersebut tidak memiliki dasar yang kuat sebagai aspirasi masyarakat dari desa yang bersangkutan.
Contoh Bottom Up
Contoh sederhana di lingkungan perumahan, yaitu masyarakat ingin pembangunan prasarana yang memadai seperti jalan, drainase, ataupun air bersih. Hal ini menjadi pertimbangan dalam merumuskan rencana, karena prinsip perencanaan Bottom Up yaitu aspirasi masyarakat diakomodir menjadi rumusan masalah dalam merumuskan rencana ataupun kebijakan.
1.Teritori Vs Fungsi
Contohnya, daerah sungai jeneberang bagian hulu merupakan daerah Malino yang dimana daearah tersebut sebagai daerah konservasi hutan agar daerah hulu sungai jene’berang tetap menghasilkan air serta dapat menyuplai air ke daerah hilir secara teratur. Hal ini, secara teritori bahwa daerah Malino memiliki hutan yang berpotensial untuk menjadi kawasan yang siap dikonversi menjadi kawasan yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Namun secara fungsional daerah hutan Malino jika ditebang atau dikonversi maka daerah hulu sungai jeneberang tidak akan cukup menahan air karena hutan Malino di bagian hulu menjadi daerah penahan air agar suplai air ke hilir menjadi teratur sehingga air daerah sungai jene’berang akan sangat tidak teratur dalam suplai air bersih di beberapa daerah di hili seperti Kota Makassar, dll. Hal ini jika pada musim kemarau air akan sangat kering, namun pada musim hujan air akan sangat banyak sehingga terkadang banjir di daerah hilir, karena koefisien Run-off sangat besar daripada yang tahan atau di tangkap oleh hutan Malino.
Dalam sistem perencanaan nasional, pertemuan antara perencanaan yang bersifat top-down dan bottom-up diwadahi dalam musyawarah perencanaan. Dimana perencanaan makro yang dirancang pemerintah pusat disempurnakan dengan memperhatikan masukan dari semua stakeholders dan selanjutnya digunakan sebagai pedoman bagi daerah-daerah dan lembaga-lembaga pemerintah menyusun rencana kerja, Gambar 3.
Gambar 3.
menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya. Proses top-down
Diagram Proses Perencanaan Top Down dan Bottom Up
3.Teritori Vs Fungsi
Teritori adalah pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuan emosional dan kultural dan perwujudan dari proses aktualisasi diri sebagai media teritori. Dalam hal inim teritori dapat dibagi menjadi tiga yaitu;
1. tempat-tempat yang sangat pribadi fungsinya dan hanya bisa di masuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab dengannya. Atau orang-orang yang sudah mendapat ijin khusus. Area ini dimiliki secara eksklusif, diketahui oleh orang lain dan dikendalikan secara permanent. Serta menjadi bagian utama dalam kehidupan bagi penghuninya .
2. teritori sekunder adalah tempat-tempat yang dimiliki bersama dengan sdebagian orang yang cukup dengan saling mengenal dan tiak digunakan secara eksklusif memmpunyai cakupan wilayah yang cuklup luas dan dikendalikan secara berkala oleh para penghuninya.
3. teritori public adalah wilayah yang diperuntukan unntuk umum yang prinsipnya siapoa saja bisa tremapat tersebut dengan menghargai dan memperhatikan norma-norma tertentu yang berlaku
Contoh.
Teritori primer: Ruangan rumah.
Teritori sekunder: Tempat-tempat ibadah.
Teritori publik: Taman kota
Fungsi adalah dalah salah satu kata yang memberikan keterangan bahwa area atau wilayah tersebut memberikan kapasitas yang jelas dalam penerapannya. Contohnya suatu area yang diperuntukan sebagai ruang terbuka yang berfungsi sebagai ruang publik.
4.Public vs Swasta
Public adalah aspirasi langsung masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang berlandaskan atas hak-hak masyarakat demi kelancaran dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Sehingga tempat-tempat yang menjadi kegiatan msyarakat untuk melakukan aktifitas di sebut sebagai ruang public.
Contoh.
Public : – Pasar
– Open space
– Lokasi wisata
Swasta adalah suatu badan yang sifatnya terikat dalam melakukan suatu aktifitas dan hanya bersifat ekonomi dalam kegiatannya demi memenuhi kebutuhan masyarakatnya serta seluruh komponen didalamnya.
Contohnya dalah suatu kawasan permukiman yang di kembangkan sendiri untuk kebutuhan financial bagi swasta tersebut atau juga biasa di sebut perusahaan Property(Developer). Dan usahanya lebih ke ekonomi sektoral.
1.Teori Resource Endowment
Teori Resource Endowment dari suatu wilayah menyatakan bahwa perkembangan ekonomi wilayah dalam pembangunan bergantung pada sumber daya alam yang di miliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumber daya itu. Dalam jangka pendek sumber daya yang dimiliki suatu wilayah merupakan suatu aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Nilai dari suatu sumber daya merupakan nilai dan permintaan terhadapnya merupakan permintaan turunan. Suatu sumber daya menjadi berharga jika dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi.
Pertumbuhan wilayah jangka panjang bergantung pada kegiatan industri ekspornya. Kekuatan utama dalam pertumbuhan wilayah adalah pemintaan ekternal akan barang dan jasa yang dihasilkan dan dieksport oleh wilayah itu. Permintaan eksternal ini mempengaruhi penggunaan modal tenaga kerja, dan teknologi untuk menghasilkan komoditi ekspor. Suatu wilayah memiliki sektor ekspor karena sektor itu menghasilkan keuntungan dalam memproduksi barang dan jasa, mempunyai sumber daya yang unik, dan mempunyai beberapa tipe keuntungan tranportasi. Dalam perkembangannya perekonomian wilayah cenderung membentuk kegiatan pendukung yang dapat menguatkan posisi yang menguntungkan dalam sektor ekspor di wilayah itu. Penekanan teori ini ialah pentingnya keterbukaan wilayah yang dapat meningkatkan aliran modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk pembangunan wilayah.
Tokoh-tokoh dari teori Resource Endowment diantaranya:
a.Etzioni
b.Esman
c.Uphoff
2.Teori Export Base
Teori ini menjelaskan bahwa pertumbuhan jangka panjang wilayah bergantung pada kegiatan industry ekspornya. Kekuatan utama dalam pertumbuhan wilayah adalah adalah permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang dihasilkan dan di eksport oleh wilayah itu. Permintaan eksrnal ini mempengaruhu penggunaan modal, tenaga kerja, dan teknologi untuk menghasilkan komoditas eksport. Dengan kata lain, permintaan komoditas ekspor akan membentuk keterkaitan ekonomi, baik kebelakang (sector produksi) maupun kedepan (sector pelayanan).Teori pertumbuhan wilayah Neo-klasik yaitu W. A. Lewis memperkenalkan sebuah teori tentang pembangunan ekonomi pada konteks jumlah labour yang tidak terbatas. Lewis beragumentasi bahwa baik teori Keynes ataupun teori Neo-klasik tentang pertumbuhan ekonomi yang ada pada saat itu tidak dapat diterapkan pada Negara-negara dengan surplus buruh yang tidak terbatas. Basis model Lewis adalah bahwa ekonomi nasional Negara-negara yang terbelakang dapat dibagi menjadi dua sektor, yaitu tradisional (agriculture) dan modern (industrial) sektor.
Dalam perkembangannya perekonomian wilayah cenderung membentuk kegiatan penduduk yang dapat menguatkan posisi yang menguntungkan dalam sector eksport di wilauah tersebut. Penekanan teori ini adalah pentingnya keterbbukaan wilayah yang dapat meningkatkan aliran modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk kelanjutan pembangunan wilayah.
Teori export-base mengandung daya tarik intuitif dan kesederhanaan, seperti halnya dianggap sebagai dasar teori, berdasarkan konsep beberpa sector ekonomi local mengantarkan kekuatan ekonomi eksternal ke dalam wilayah untuk menstimulasikan perubahan secara tepat perubahan pendapatan wilayah bergantung pada perubahan permintaan eksport. Eksport meningkat jika permintaan bergeser ke kanan atau terjadi peningkatan posisi menguntungkan dalam wilayah, sedangkan eksport menurun pada saat permintaan bergeser ke kiri atau kehilangan posisi menguntungkan. Sector ekspor baru dalam suatu wilayah akan muncul jika terjadi perubahan selera, kesenangan, dan teknologi.
Sasaran teori export base sebagai teori umum pembangunan wilayah :
a.Diperuntukkan bagi wilayah-wilayah yang kecil dengan ekonomi sederhana dan untuk penelitian jangka pendek tentang pengembangan ekonomi wilayah.
b.Teori ini gagal menjelaskan bagaimana pengembangan wilayah dapat terjadi walaupun terjadi penurunan ekspor, sedangkan dilain pihak sector non-ekspor lainnya dapat tumbuh mengimbangi penurunan itu.
Tokoh-tokoh pencetus teori export base :
1.Douglas C. North
3.Teori Pertumbuhan Wilayah Neo Klasik
Teori Neo-Klasik menganut faham bahwa perkembangan wilayah selalu berada dalam keseimbangan yang dinamis (equilibirium). Teori ini menjelaskan saling keterhubungan antara komponen-komponen pertumbuhan ekonomi, seperti modal, tabungan, buruh, teknologi dan pertumbuhan penduduk. Menurut teori ini, mekansme pasar bekerja untuk mengoreksi ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam perkembangan ekonomi. Dengan perkataan lain, dari pandangan Neo-Klasik, development adalah proses yang bersifat kumulatif dan diatur oleh mekanisme penyeimbangan (equilibrating mechanism). Proses perkembangan ekonomi bersifat unlinear, dalam arti kata padanan tahap-tahap perkembangan yang bersifat defenitif, dimana seluruh bangsa-bangsa akan mengalaminya.
Arthur lewis memandang bahwa alran capital cenderung bergerak dari wilayah yang tingkat upah buruhnya rendah, sedangkantenaga buruh mengalir dengan arah sebaliknya, sampai terjadi keseimbangan baru lagi. Diasumsikan equilibrium terjadi dalam keadaan pasar yang sempurna.
Tokoh-tokoh pencetusteori Neo-Klasik :
1.Robert M. Solow
2.T. W. Swan
4.Teori Ketidakseimbangan Pertumbuhan Wilayah
Perkembangan wilayah juga diperkaya oleh kontribusi beberapa ahli ekonomi yang percaya bahwa wilayah hanya bias berkembang jika didukng oleh pertumbuhan yang ridak seimbang. Para tokoh yang berperan dalam pengembangan teori ini berpendapat bahwa dalam strategi pembangunan, invesasi harus dipusatkan pada beberapa sector saja dibanding didistribusikan pada banyak sector.
Teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah yaitu (unbalanced growth : Hirschman, 1958 : Mydal, 1957). Hirschman beragumentasi bahwa dalam strategi pembangunan, investasi harus dipusatkan pada beberapa sektor saja ketimbang didistribusikan pada banyak sektor. Pertumbuhan akan dijalarkan dari sektor-sektor utama (leading sectors) ke sektor-sektor lainnya, dan dari suatu industri ke industri lainnya. Mydal secara spesifik mengatakan bahwa keterbelakangan Negara-negara yang sedang berkembang dapat dijelaskan dengan model “circular causation with cumulative effects” ketimbang oleh model-model static equilibrium. Selanjutkan ia mengenalkan konsep “backwash” dan spread” effects yang serupa dengan tricling down dan polarization effectsnya Hirschman.
Selanjutnya oleh tokoh lain juga dijelaskan bahwa dalam pengembangan industry, pertumbuhan tidak akan terjadi disemua tempat dalam seketika. Pertumbuhan mulai muncul pada titik atau kutub pertumbuhan denagn intensitas yang berbeda, dan menyebar melalui saluran-saluran yang luas dan mempunyai pengaruh yang berbeda-bedapada keseluruhan aspek ekonomi.
Ketimpangan pendapatan wilayah makin meningkat sampai sutau titik dimana ketimpangan ini mulai menurun kembali. Disimpulkan juga bahwa ketimpangan pendapatan wilayah (regional income sidporities) merupakan suatu tahap dan keadaan yang tidak dapat dihindari dalam proses national development.
Tokoh-tokoh yang berperan dalam teori ketidakseimbangan wilayah :
1.Hirschman
2.Myrdal
3.Francois Perroux
4.Williamson
5.Alonso
6.Kaldor
7.Dixon dan Thirwall
5.Teori Baru Pertumbuhan Wilayah
Teori baru pertumbuhan wilayah yaitu teori ini menyatakan bahwa pembangunan merupakan cara yang paling dikenal dan paling berkuasa. Yang merupakan unsur utama dalam teori ini adalah pertumbuhan yang dihubungkan dengan cita-cita kemajuan, yaitu bergeraknya peradaban kearah yang diharapkan, yaitu dari peradaban pertanian ke peradaban industri.
bagaimana dengan tulisanku…..? tulisanmu sudah saya baca dan bagus sekali, saya harap kita bisa saling bertukar pikiran………!
Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2006:77).
Salah satu hal banyak dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Analisis ini dapat dikembangkan untuk melihat suatu lokasi yang memiliki daya tarik terhadap batas wilayah pengaruhnya, dimana orang masih ingin mendatangi pusat yang memiliki daya tarik tersebut. Hal ini terkait dengan besarnya daya tarik pada pusat tersebut dan jarak antara lokasi dengan pusat tersebut.
Terkait dengan lokasi maka salah satu faktor yang menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006:78). Menurut Tarigan, tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut.
Dalam analisis kota yang telah ada atau rencana kota, dikenal standar lokasi (standard for location requirement) atau standar jarak (Jayadinata, 1999:160) seperti terlihat pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1
Standar Jarak Dalam Kota
No
Prasarana
Jarak dari tempat tinggal (berjalan kaki)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pusat tempat kerjaPusat kota (dengan pasar, dan sebagainya)Pasar lokal
Sekolah Dasar
Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Lanjutan Atas
Tempat bermain anak-anak dan taman lokal
Tempat olah raga dan pusat lalita (rekreasi)
Taman untuk umum atau cagar (seperti kebun binatang, dan sebagainya
20 sampai 30 menit30 sampai 45 menit¾ km atau 10 menit
¾ km atau 10 menit
1 ½ km atau 20 menit
20 atau 30 menit
¾ km atau 20 menit
1 ½ km atau 20 menit
30 sampai 60 menit
Sumber: Chapin dalam Jayadinata (1999:161)
Standar yang digunakan harus menggunakan jenis transportasi yang sama seperti pada tabel di atas diukur berdasarkan waktu tempuh dengan berjalan kaki.
2.2.1 Teori Tempat Pemusatan
Suatu tempat merupakan pusat pelayanan. Menurut Christaller, pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terlihat dengan jelas di wilayah yang mempunyai dua syarat: (1) topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan, (2) kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batu bara.
Dalam keadaan yang mempunyai kedua syarat seperti di atas itu akan berkembang tiga hal (Jayadinata, 1999:180) seperti diterangkan di bawah ini.
Ajang jasa (ajang niaga) akan berkembang secara wajar di seluruh wilayah dengan jarak dua jam berjalan kaki atau 2 x 3,5 = 7 km. Secara teori tiap pusat pelayanan melayani kawasan yang berbentuk lingkaran dengan radius 3,5 km (satu jam berjalan kaki), jadi pusat wilayah layanan akan terletak di pusat kawasan tersebut. Teori ini disebut teori tempat pemusatan (central place theory).
Kawasan-kawasan berbentuk lingkaran yang saling berbatasan, walaupun bentuk lingkaran adalah paling efisien, akan mempunyai bagian-bagian yang bertumpang tindih atau bagian-bagian yang senjang (kosong), sehingga bentuk lingkaran itu tidak biasa digunakan untuk kawasan atau wilayahnya. Berhubung dengan itu Christaller mengemukakan bahwa pusat pelayanan akan berlokasi menurut pola heksagon, sehingga wilayah akan saling berbatasan tanpa bertumpang tindih.
Dalam wilayah akan berkembang ajang niaga dalam pola heksagon. Yang palng banyak adalah dusun-dusun sebagai pusat perdagangan yang melayani penduduk wilayah pedesaan. Satu dusun dengan dusun lainnya akan menempuh jarak 7 km.
Gambar 2.2 Hipotesis Christaller
Dalam asumsi yang sama dengan Christaller, Lloyd (Location in space, 1977) melihat bahwa jangkauan/luas pelayanan dari setiap komoditas itu ada batasnya yang dinamakan range dan ada batas minimal dari luas pelayanannya dinamakan threshold. (Tarigan, 2006:79)
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dijelaskan model Christaller tentang terjadinya model area pelayanan heksagonal sebagai berikut: (Tarigan, 2006:80)
Mula-mula terbentuk area pelayanan berupa lingkaran-lingkaran. Setiap lingkaran memilik pusat dan menggambarkan threshold. Lingkaran-lingkaran ini tidak tumpang tindih seperti pada bagian A dari Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Kronologi terjadinya area pelayanan heksagonal
Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari pelayanan tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih seperti terlihat pada bagian B.
Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh dataran yang tidak lagi tumpang tindih, seperti terlihat pada bagian C.
4. Tiap pelayanan berdasarkan tingkat ordenya memilik heksagonal sendiri-sendiri. Dengan menggunakan k=3, pelayanan orde I lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal pelayanan orde II. Pelayanan orde II lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal pelayanan orde III, dan seterusnya. Tiap heksagonal memiliki pusat yang besar kecilnya sesuai dengan besarnya heksagonal tersebut. Heksagona yang sama besarnya tidak saling tumpang tindih, tetapi antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang tindih, seperti terlihat pada bagian D.
2.2.2 Pola Tata Guna Tanah Perkotaan
Dalam pola tata guna tanah perkotaan yang berhubungan dengan nilai ekonomi, terdapat beberapa teori sebagai berikut:
2.2.2.1 Teori Jalur Sepusat
Teori jalur sepusat atau Teori Konsentrik (Consentric Zone Theory) E.W. Burgess, mengemukakan bahwa kota terbagi sebagai berikut: (Jayadinata, 1999:129)
(1) Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (central business district atau CBD) yang terdiri atas: bangunan-bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan toko pusat perbelanjaan;
(2) Pada lingkaran tengah pertama terdapat jalur alih: rumah-rumah sewaan, kawasan industri, perumahan buruh;
(3) Pada lingkaran tengah kedua terletak jalur wisma buruh, yakni kawasan perumahaan untuk tenaga kerja pabrik;
(4) Pada lingkaran luar terdapat jalur madyawisma, yakni kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja halus dan kaum madya (middle class);
(5) Di luar lingkaran terdapat jalur pendugdag atau jalur pengelajon (jalur ulang-alik); sepanjang jalan besar terdapat perumahan masyarakat golongan madya dan golongan atas atau masyarakat upakota.
2.2.2.2 Teori Sektor
Teori sektor (Sector Theory) menurut Humer Hoyt yang mengatakan bahwa kota tersusun sebagai berikut: (Jayadinata, 1999:130)
(1) Pada lingkaran pusat terdapat pusat kota;
(2) Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan;
(3) Dekat pusat kota dan dekat sektor tersebut di atas, pada bagian sebelah menyebelahnya, terdapat sektor murbawisma, yaitu kawasan tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh;
(4) Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor madyawisma;
(5) Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, kawasan tempat tinggal golongan atas.
2.2.2.3 Teori Pusat Lipatganda
Teori pusat lipatganda (Multiple Nuclei Concept) menurut R. D. Mc Kenie menerangkan bahwa kota meliputi: pusat kota, kawasan kegiatan ekonomi, kawasan hunian, dan pusat lainnya. Teori ini umumnya berlaku untuk kota-kota yang agak besar. Menurut teori ini kota terdiri atas: (Jayadinata, 1999:132)
(1) Pusat kota atau CBD;
(2) Kawasan niaga dan industri;
(3) Kawasan murbawisma, tempat tinggal berkualitas rendah;
(4) Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah;
(5) Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi;
(6) Pusat industri berat;
(7) Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran;
(8) Upakota, untuk kawasan madyawisma dan adiwisma;
(9) Upakota (suburb) untuk kawasan industri.
Gambar 2.4 Teori mengenai pola penggunaan tanah di kota