Posted by ariean10 in economics.
trackback
trackback
Sekitar 200 tahun yang lalu, Pendeta Thomas Malthus mengajukan sebuah teori tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns), Malthus melukiskan suatu kecenderungan universal bahwasanya jumlah populasi di suatu negara akan meningkat secara cepat pada deret ukur atau tingkat geometric (pelipatgandaan: 1, 2, 4, 8, 16, 32, dan seterusnya) setiap 30 atau 40 tahun, kecuali jika hal itu diredam oleh bencana kelaparan. Pada waktu yang bersamaan, karena adanya proses pertambahan hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang jumlahnya tetap, yaitu tanah, maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung atau tingkat aritmetik (1, 2, 3 , 4, 5, dan seterusnya). Bahkan, karena lahan yang dimiliki setiap anggota masyarakat semakin lama semakin sempit, maka konstribusi marjinalnya terhadap total produksi pangan akan semakin menurun. (Todaro, 2004).
Intinya adalah Malthus memperkirakan dimasa yang akan datang umat manusia akan kekurangan pangan akibat semakin meledaknya jumlah penduduk di dunia, namun banyak kalangan berpendapat bahwa teori Malthus ini banyak memiliki kelemahan, dan kemungkinannya sangat kecil untuk terjadi. Menurut Todaro, Malthus melupakan atau tidak memperhitungkan begitu besarnya dampak kemajuan teknologi dalam mengimbangi berbagai kekuatan negatif yang bersumber dari ledakan pertambahan penduduk. Asumsi Malthus mengenai ketersediaan lahan yang terbatas memang benar, tetapi ia tidak (pada waktu itu memang sulit untuk dibayangkan) memperhitungkan bahwa kemajuan teknologi dapat meningkatkan kualitas atau produksi tanah; artinya, dari tanah yang kuantitas atau luasnya tetap, manusia bisa memperoleh hasil yang jauh lebih banyak berkat kemajuan teknologi.
Namun kekhawatiran Malthus pada saat itu sangat mungkin terjadi, beberapa waktu yang lalu harga pangan di dunia melambung tinggi akibat persediaan pangan yang berkurang, tingkat konsumsi pangan di dunia semakin meningkat, bahkan menurut IMF permasalahan pangan ini berpotensi menimbulkan perang (Kompas, 13 April 2008).
Teknologi (yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh Malthus), selain dapat meningkatkan hasil pangan, ternyata juga dapat mengurangi hasil pangan, bagaimana hal ini bisa terjadi? kita dapat melihat bahwasanya teknologi yang sedemikian canggihnya ini dapat merubah hasil pangan menjadi bahan bakar altenatif atau yang lebih dikenal dengan bioenergi/biofuel, minyak kelapa sawit (CPO) yang semula dikonsumsi untuk minyak goreng, dikonsumsi juga untuk bahan bakar, pengembangan bioenergi menyebabkan lahan-lahan yang seharusnya dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan dialihfungsikan oleh perusahaan-perusahaan besar atau swasta untuk pengembangan bioenergi, teknologi ini muncul akibat menipisnya ketersediaan minyak dunia yang memang tidak dapat diperbaharui. Teknologi telah menjadi bumerang yang justru mengancam kehidupan manusia, yaitu kekurangan pangan.
Selain itu ledakan jumlah penduduk di dunia sangat jelas menjadi penyebab menipisnya ketersediaan pangan di dunia. China dan India yang memiliki penduduk lebih dari 1 Milyar jiwa yang notabene merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia juga memiliki andil dalam masalah ini, pertumbuhan kedua negara ini sangatlah pesat pada akhir-akhir tahun ini, dan tentunya tingkat konsumsi mereka pun ikut meningkat. Tak terkecuali Amerika, Brazil dan Indonesia, yang termasuk negara dengan jumlah penduduk paling besar di dunia, sudah tentu jumlah konsumsi negara tersebut juga sangatlah besar.
Sudah saatnya kita lebih memprioritaskan sektor pertanian, terutama yang menyangkut ketersediaan pangan. Indonesia dikenal senagai negara agraris namun masih juga kekurangan pangan, produksi domestik tidak mencukupi sehingga harus impor dari negara lain. Sungguh ironis memang, tapi ini lah kenyataan yang harus dihadapi. Di zaman sekarang ini, saya yakin tidak ada anak muda yang ingin menjadi petani, tidak ada lagi generasi penerus yang menjadi petani, maklum saja, kesejahteraan para petani saat ini masih jauh dari harapan, masih banyak yang berada dalam jurang kemiskinan. Diperlukan perubahan secara menyeluruh untuk perbaikan sektor pertanian, mulai dari pendidikan, pola pikir, mental dan teknologi tentang pertanian, jangan terlalu memaksakan agar Indonesia menjadi negara industri yang berteknologi tinggi. Perbaiki dulu sektor pertanian agar supaya menjadi sektor yang kokoh, yang menopang kehidupan orang banyak. Jadikan Indonesia menjadi negara spesialis pertanian, biarkanlah negara Jepang yang spesialis teknologi, atau Singapura yang spesialis jasa perdagangan, jangan terlalu mengejarnya. Saya yakin suatu saat dunia akan sangat membutuhkan negara Indonesia, negara dengan produksi pertaniannya sangat melimpah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar