27 December 2009 oleh Kholil Aziz | 0 Komentar
Dunia menyaksikan bagaimana sebagian besar manusia, dari hari ke hari, semakin haus dan gila terhadap kekayaan. Dengan terjadinya revolsi industri yang bermula di Eropa, manusia semakin mampu mengembangkan teknologi canggih untuk memenuhi segala yang diinginkannya. Sayangnya, kamajuan teknologi tidak diimbangi dengan peningkatan keimanan dan ketaatan kepada ajaran agama. Oreintasi hidup manusia mulai bergeser, tertuju pada kebendaan dan pemuasan kebutuhan duniawi semata. Bagi sebagian besar manusia, hidup adalah bekerja keras demi memuaskan kantong, perut, dan bawah perut.
Pola pikir dan orientasi hidup yang serba bernilai kebendaan dan tidak sedikit pun memperhatikan nilai-nilai keakhiratan ini, membuat manusia tak ubahnya binatang yang berbicara dan berfikir. Demi untuk bisa hidup enak, kebutuhan diri tercukupi, dan harta bergelimang; segala cara ditempuh, tak peduli bila melanggar ketentuan yang Maha Kuasa dan merugikan manusia yang lain. Satu-satunya yang terfikir dalam otak hanyalah bagaimana haratanya setiap saat bertambah. Hal yang dicita-citakan hanyalah bagaimana nafsu perut dan bawah perutnya terlampiaskan.
Pada akhirnya, paham materialisme dan sikap hidup hedonis ini melahirkan sikap egois. Setiap orang hanya memikirkan diri sendiri, tidak peduli pada nasib orang lain. Egoisme melahirkan sikap rakus, mendorong pada persaingan yang tidak sehat, dan membangkitkan kezaliman terhadap orang lain
Dengan mesin-mesin raksasa, para pengusaha yang haus harta mengunduli ribuan bahkan jutaan hektar hutan. Ekploitasi hutan untuk kepentingan segelintir manusia egois tersebut mengkibatkan margasatwa kehilangan makanan dan tempat tinggal, dan manusia kehilangan sumber air. Akibatnya, tatkala hujan turun, terjadi banjir bandang dan tanah longsor yang menyebabkan kerugian harta dan jiwa yang tak terperikan besarnya
Eksploitasi terhadap sumber daya alam secara berlebihan dan sembarangan, terbukti menyebabkan kehancuran pada manusia sendiri. Manusia dengan seluruh kemampuan teknologinya sekalipun, tidak akan sanggup berpacu dengan kerusakan alam dan akibat yang ditimbulkannya.
Maka, manusialah sentral dari kerusakan lingkungan. Memang ada kerusakan alam yang terjadi begitu saja. Tetapi semuanya adalah proses yang secara natural memang terjadi demikian. Sementara kerusakan yang disebabkan oleh tangan manusia, hampir tidak pernah bisa terjadi secara natural. Melainkan secara sengaja dan penuh dengan nafsu merusak.
Hegemoni manusia terhadap alam memang merupakan sebuah sejarah yang panjang. Di dalamnya ada berbagai latar belakang yang bercampur menjadi satu. Ada masalah panggilan teologis, sosiologis, naturalis, bahkan dekonstruksi post kolonial juga dianggap memberikan kontribusi di dalamnya. Akibatnya adalah bumi seperti yang kita lihat sekarang. Kondisinya awut-awutan dan penuh dengan noda kekuasaan dan kerakusan manusia.
Mesin-mesin raksasa dan dana miliaran dolar, perusahaan-perusahaan raksasa multinasional mengebor bumi dan hutan, meruntuhkan bukit dan pegunungan, demi mengumpulkan emas, perak, tembaga, minyak, batu bara, dan barang-barang tambang lainnya. Dampak buruknya terhadap manusia, hewan, dan alam sekitar tidak lagi dipedulikan. Akibatnya, kesuburan tanah pun punah, terjadi pencemaran terhadap air, tanah, dan udara. Berbagai wabah penyakit berat mengenai penduduk sekitar, hewan-hewan dan tumbuhan air punah, dan terjadi kerusakan hebat dalam areal yang sangat luas
Kerusakan yang sama dihasilkan oleh mesin-mesin penghasil uang manusia, seperti pabrik-pabrik industri, sektor nuklir, dan fasilitas hidup lux lainnya. Mereka hanya mau mengekploitasi dan merusak alam, tanpa mau melakukan peremajaan dan perbaikan. Keserakahan manusia benar-benar telah mengakibatkan terjadinya kerusakan parah pada daratan, lautan, dan udara.
Kita lihat dan saksikan sendiri musim hujan yang bercampur angin yang terjadi beberapa bulan terakhir, selain siklusnya yang mulai bergeser, air pasang yang merendam beberapa daerah pesisir pantai dan yang paling kacau adalah ketika pagi hari kita rasakan udaranya dingin, siangnya menjadi sangat panas menyengat, kemudian sore harinya tiba-tiba mendung dan hujan dengan lebat inilah salah satu contoh kecil yangn dinamakan Extreme Weather, bisa kita lihat dampaknya terhadap daerah-daerah yang kurang memperhatikan sistem pembangunan tata ruang kota sudah pasti akan mengalami banjir dan itu tidak main-main, akan terus semakin parah tiap tahun jika tidak mendapat perhatian yang serius.
Seperti beberapa tahun terakhir, Indonesia telah diguncang berbagai bencana alam hampir di seantero negeri, mulai dari tsunami, banjir, tanah longsor, gunung meletus, gempa, dan masih banyak lagi. Beragam teori diajukan untuk dijadikan penyebab lahirnya bencana tersebut, mulai dari penggundulan hutan, penyalahgunaan lahan, dan lain sebagainya.
Bagi masyarakat Indonesia bencana-bencan tersebut mulai dari tektonik hingga tsunami telah menjadi konsumsi. Di sepanjang abad 20 dan 21, gempa telah mengakibatkan banyak kematian dan kerugian material yang sangat besar. Hingga dikatakan bahwa tak pernah ada peristiwa-peristiwa alam lain dalam sejarah yang pernah berpengaruh pada manusia hingga sampai pada batas sebagaimana halnya gempa bumi. Oleh sebab itu, bencana gempa telah menjadi peristiwa yang amat sangat ditakuti. Bahkan, teknologi abad ke-20 dan ke-21 pun hanya mampu mencegah kerusakan akibat gempa pada suatu batasan tertentu.
Hampir setiap hari kita mendengar berita menyedihkan tentang kerusakan alam yang timbul pada sumber air, gunung, laut, atau udara. Bencana lumpur lapindo yang tak kunjung usai, banjir Jakarta, adam air, demam berdarah, flu burung, kekeringan, gempa, dan sebagainya selalu menghiasi berita di televisi maupun di koran-koran.
Pemanfaatan alam lingkungan secara serampangan dan tanpa aturan telah dimulai sejak manusia memiliki kemampuan lebih besar dalam menguasai alam lingkungannya. Dengan mengeksploitasi alam, manusia menikmati kemakmuran hidup yang lebih banyak. Namun sayangnya, seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, alam lingkungan malah dieksploitasi sedemikian rupa sehingga menimbulkan kerusakan yang dahsyat.
Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh manusia bersumber dari cara pandang manusia terhadap alam lingkungannya. Dalam pandangan manusia yang oportunis, alam adalah barang dagang yang menguntungkan dan manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap alam. Menurtnya, alam dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesenangan manusia. Sebaliknya, manusia yang religius akan menyadari adanya keterkaitan antara dirinya dan alam lingkungan. Manusia seperti ini akan memandang alam sebagai sahabatnya yang tidak bisa dieksploitasi secara sewenang-wenang.
Sadar Lingkungan
Berbagai gerakan penyelamatan alam sudah dimulai sejak 50-an, tapi perhatian pada persoalan tersebut masih saja minim, tidak hanya pada level praktik, namun juga pada level teoritis. Dalam dunia filsafat, pengabaian persoalan itu tampak pada pemikiran Immanuel Kant. Bagi Kant penyelamatan lingkungan bukan bagian dari kewajiban moral, tindakan itu hanya dianggap sebagai tindakan yang indah, karena menyenangkan bukan sebagai tindakan yang harus dinilai benar atau salah.
Kondisi kehidupan manusia, saat ini, memaksa kita mengubah cara berpikir kita terhadap alam. Persoalan baru yang kita hadapi, saat ini, menyangkut kerusakan lingkungan, berkaitan langsung dengan manusia. Bagi Kant, manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri, sehingga merupakan suatu kejahatan moral jika menggunakan manusia lain sebagai alat untuk mencapai tujuan manusia lainnya.
Perilaku kita terhadap alam harus dilihat dalam konteks ini. Karena alam adalah sumber terbatas yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Memanipulasi dan mengeksploitasi alam demi kepentingan sekelompok manusia berarti memanipulasi dan mengeksploitasi kepentingan kelompok manusia lain yang sama-sama menggantungkan hidup pada alam.
Kegoisan manusia yang selalu mementingkan dirinya sendiri dan kelompok kecil tertentu telah mengundang berbagai bencana yang bisa (telah) kita rasakan selama beberapa tahun terakhir. Serentetan bencana yang telah terjadi merupakan peringatan alam, atau mungkin bisa dikatakan murka Tuhan yang sulit diduga kapan datangnya. Hal ini merupakan akibat dari ulah manusia sendiri yang berlebihan dalam melakukan eksploitasi terhadap alam. Namun mengkambing-hitamkan alam, apalagi Tuhan, jelas bukan suatu sikap moral yang pantas bagi kita sebagai makhluk berakal yang diberi kebebasan untuk mengelola alam beserta sumber daya yang ada sebaik-baiknya.
Berbagai bencana yang datang dengan berbagai medium, harus kita pandang sebagai produk dari kecerobohan manusia yang buruk dan bahkan salah dalam memperlakukan lingkungan, sumber daya, dan berbagai aspek lain yang ada disekitarnya.
Orientasi berlebihan atas akumulasi kapital, investasi, dan pertumbuhan ekonomi harus diakui merupakan pemicu yang menjadikan manusia menempuh jalan “pintas yang dianggap pantas dengan menghalalkan segala cara, termasuk eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, penggunaan teknologi yang tanpa pemeliharaan, dan bahkan pencemaran lingkungan lewat limbah pabrik, berimplikasi pada kerusakan seluruh sektor kehidupan.
Pola pikir dan orientasi hidup yang serba bernilai kebendaan dan tidak sedikit pun memperhatikan nilai-nilai keakhiratan ini, membuat manusia tak ubahnya binatang yang berbicara dan berfikir. Demi untuk bisa hidup enak, kebutuhan diri tercukupi, dan harta bergelimang; segala cara ditempuh, tak peduli bila melanggar ketentuan yang Maha Kuasa dan merugikan manusia yang lain. Satu-satunya yang terfikir dalam otak hanyalah bagaimana haratanya setiap saat bertambah. Hal yang dicita-citakan hanyalah bagaimana nafsu perut dan bawah perutnya terlampiaskan.
Pada akhirnya, paham materialisme dan sikap hidup hedonis ini melahirkan sikap egois. Setiap orang hanya memikirkan diri sendiri, tidak peduli pada nasib orang lain. Egoisme melahirkan sikap rakus, mendorong pada persaingan yang tidak sehat, dan membangkitkan kezaliman terhadap orang lain
Dengan mesin-mesin raksasa, para pengusaha yang haus harta mengunduli ribuan bahkan jutaan hektar hutan. Ekploitasi hutan untuk kepentingan segelintir manusia egois tersebut mengkibatkan margasatwa kehilangan makanan dan tempat tinggal, dan manusia kehilangan sumber air. Akibatnya, tatkala hujan turun, terjadi banjir bandang dan tanah longsor yang menyebabkan kerugian harta dan jiwa yang tak terperikan besarnya
Eksploitasi terhadap sumber daya alam secara berlebihan dan sembarangan, terbukti menyebabkan kehancuran pada manusia sendiri. Manusia dengan seluruh kemampuan teknologinya sekalipun, tidak akan sanggup berpacu dengan kerusakan alam dan akibat yang ditimbulkannya.
Maka, manusialah sentral dari kerusakan lingkungan. Memang ada kerusakan alam yang terjadi begitu saja. Tetapi semuanya adalah proses yang secara natural memang terjadi demikian. Sementara kerusakan yang disebabkan oleh tangan manusia, hampir tidak pernah bisa terjadi secara natural. Melainkan secara sengaja dan penuh dengan nafsu merusak.
Hegemoni manusia terhadap alam memang merupakan sebuah sejarah yang panjang. Di dalamnya ada berbagai latar belakang yang bercampur menjadi satu. Ada masalah panggilan teologis, sosiologis, naturalis, bahkan dekonstruksi post kolonial juga dianggap memberikan kontribusi di dalamnya. Akibatnya adalah bumi seperti yang kita lihat sekarang. Kondisinya awut-awutan dan penuh dengan noda kekuasaan dan kerakusan manusia.
Mesin-mesin raksasa dan dana miliaran dolar, perusahaan-perusahaan raksasa multinasional mengebor bumi dan hutan, meruntuhkan bukit dan pegunungan, demi mengumpulkan emas, perak, tembaga, minyak, batu bara, dan barang-barang tambang lainnya. Dampak buruknya terhadap manusia, hewan, dan alam sekitar tidak lagi dipedulikan. Akibatnya, kesuburan tanah pun punah, terjadi pencemaran terhadap air, tanah, dan udara. Berbagai wabah penyakit berat mengenai penduduk sekitar, hewan-hewan dan tumbuhan air punah, dan terjadi kerusakan hebat dalam areal yang sangat luas
Kerusakan yang sama dihasilkan oleh mesin-mesin penghasil uang manusia, seperti pabrik-pabrik industri, sektor nuklir, dan fasilitas hidup lux lainnya. Mereka hanya mau mengekploitasi dan merusak alam, tanpa mau melakukan peremajaan dan perbaikan. Keserakahan manusia benar-benar telah mengakibatkan terjadinya kerusakan parah pada daratan, lautan, dan udara.
Kita lihat dan saksikan sendiri musim hujan yang bercampur angin yang terjadi beberapa bulan terakhir, selain siklusnya yang mulai bergeser, air pasang yang merendam beberapa daerah pesisir pantai dan yang paling kacau adalah ketika pagi hari kita rasakan udaranya dingin, siangnya menjadi sangat panas menyengat, kemudian sore harinya tiba-tiba mendung dan hujan dengan lebat inilah salah satu contoh kecil yangn dinamakan Extreme Weather, bisa kita lihat dampaknya terhadap daerah-daerah yang kurang memperhatikan sistem pembangunan tata ruang kota sudah pasti akan mengalami banjir dan itu tidak main-main, akan terus semakin parah tiap tahun jika tidak mendapat perhatian yang serius.
Seperti beberapa tahun terakhir, Indonesia telah diguncang berbagai bencana alam hampir di seantero negeri, mulai dari tsunami, banjir, tanah longsor, gunung meletus, gempa, dan masih banyak lagi. Beragam teori diajukan untuk dijadikan penyebab lahirnya bencana tersebut, mulai dari penggundulan hutan, penyalahgunaan lahan, dan lain sebagainya.
Bagi masyarakat Indonesia bencana-bencan tersebut mulai dari tektonik hingga tsunami telah menjadi konsumsi. Di sepanjang abad 20 dan 21, gempa telah mengakibatkan banyak kematian dan kerugian material yang sangat besar. Hingga dikatakan bahwa tak pernah ada peristiwa-peristiwa alam lain dalam sejarah yang pernah berpengaruh pada manusia hingga sampai pada batas sebagaimana halnya gempa bumi. Oleh sebab itu, bencana gempa telah menjadi peristiwa yang amat sangat ditakuti. Bahkan, teknologi abad ke-20 dan ke-21 pun hanya mampu mencegah kerusakan akibat gempa pada suatu batasan tertentu.
Hampir setiap hari kita mendengar berita menyedihkan tentang kerusakan alam yang timbul pada sumber air, gunung, laut, atau udara. Bencana lumpur lapindo yang tak kunjung usai, banjir Jakarta, adam air, demam berdarah, flu burung, kekeringan, gempa, dan sebagainya selalu menghiasi berita di televisi maupun di koran-koran.
Pemanfaatan alam lingkungan secara serampangan dan tanpa aturan telah dimulai sejak manusia memiliki kemampuan lebih besar dalam menguasai alam lingkungannya. Dengan mengeksploitasi alam, manusia menikmati kemakmuran hidup yang lebih banyak. Namun sayangnya, seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, alam lingkungan malah dieksploitasi sedemikian rupa sehingga menimbulkan kerusakan yang dahsyat.
Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh manusia bersumber dari cara pandang manusia terhadap alam lingkungannya. Dalam pandangan manusia yang oportunis, alam adalah barang dagang yang menguntungkan dan manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap alam. Menurtnya, alam dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesenangan manusia. Sebaliknya, manusia yang religius akan menyadari adanya keterkaitan antara dirinya dan alam lingkungan. Manusia seperti ini akan memandang alam sebagai sahabatnya yang tidak bisa dieksploitasi secara sewenang-wenang.
Sadar Lingkungan
Berbagai gerakan penyelamatan alam sudah dimulai sejak 50-an, tapi perhatian pada persoalan tersebut masih saja minim, tidak hanya pada level praktik, namun juga pada level teoritis. Dalam dunia filsafat, pengabaian persoalan itu tampak pada pemikiran Immanuel Kant. Bagi Kant penyelamatan lingkungan bukan bagian dari kewajiban moral, tindakan itu hanya dianggap sebagai tindakan yang indah, karena menyenangkan bukan sebagai tindakan yang harus dinilai benar atau salah.
Kondisi kehidupan manusia, saat ini, memaksa kita mengubah cara berpikir kita terhadap alam. Persoalan baru yang kita hadapi, saat ini, menyangkut kerusakan lingkungan, berkaitan langsung dengan manusia. Bagi Kant, manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri, sehingga merupakan suatu kejahatan moral jika menggunakan manusia lain sebagai alat untuk mencapai tujuan manusia lainnya.
Perilaku kita terhadap alam harus dilihat dalam konteks ini. Karena alam adalah sumber terbatas yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Memanipulasi dan mengeksploitasi alam demi kepentingan sekelompok manusia berarti memanipulasi dan mengeksploitasi kepentingan kelompok manusia lain yang sama-sama menggantungkan hidup pada alam.
Kegoisan manusia yang selalu mementingkan dirinya sendiri dan kelompok kecil tertentu telah mengundang berbagai bencana yang bisa (telah) kita rasakan selama beberapa tahun terakhir. Serentetan bencana yang telah terjadi merupakan peringatan alam, atau mungkin bisa dikatakan murka Tuhan yang sulit diduga kapan datangnya. Hal ini merupakan akibat dari ulah manusia sendiri yang berlebihan dalam melakukan eksploitasi terhadap alam. Namun mengkambing-hitamkan alam, apalagi Tuhan, jelas bukan suatu sikap moral yang pantas bagi kita sebagai makhluk berakal yang diberi kebebasan untuk mengelola alam beserta sumber daya yang ada sebaik-baiknya.
Berbagai bencana yang datang dengan berbagai medium, harus kita pandang sebagai produk dari kecerobohan manusia yang buruk dan bahkan salah dalam memperlakukan lingkungan, sumber daya, dan berbagai aspek lain yang ada disekitarnya.
Orientasi berlebihan atas akumulasi kapital, investasi, dan pertumbuhan ekonomi harus diakui merupakan pemicu yang menjadikan manusia menempuh jalan “pintas yang dianggap pantas dengan menghalalkan segala cara, termasuk eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, penggunaan teknologi yang tanpa pemeliharaan, dan bahkan pencemaran lingkungan lewat limbah pabrik, berimplikasi pada kerusakan seluruh sektor kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar