Hutan tropis Indonesia merupakan bagian dari 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan di Indonesia memiliki begitu banyak keanekaragaman hayati yang terdiri dari 12% jumlah spesies binatang menyusui/mamalia, 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya adalah endemik atau khas hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya hingga mencapai 72 persen. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun, mengakibatkan terjadinya penyusutan hutan tropis kita secara besar-besaran. Lihatlah, apa yang terjadi:
Atas nama pembangunan, penghijauan berubah jadi hutan beton megah
Atas nama keserakahan, hutan-hutan dibabat seliar-liarnya
Atas nama kesengajaan, dan keapatisan hutan-hutan terbakar
Kini keadaan Bumi semakin meranggas
Penggundulan hutan menjadikan udara gerah semakin panas
Lapisan es di kutub Bumi pun semakin mencair dan semakin banyak
Kini keadaan Bumi semakin merana
Perubahan iklim, pemanasan global berdampak bencana
Gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, banjir, hujan badai dimana-mana( Selengkapnya silahkan klik pada puisi: Keseimbangan Ekosistem Bumi Terusik Sudah )
Suatu kenyataan pahit, yang bisa kita lihat dari keadaan hutan tropis kita: pembalakan hutan secara liar (illegal logging) dan kebakaran hutan baik disengaja atau pun tidak. Dalam satu minggu terakhir, Kompas cetak masih memberitakan pembalakan liar yang masih terus terjadi di hutan sekitar Riau, Sumatera. Pertambangan batu bara liar atau resmi tapi tak dikontrol di Taman Hutan Rakyat Bukit Suharto Kalimantan Timur yang masih terus berlangsung serta meninggalkan kerusakan lingkungan berupa danau bekas galian disana-sini, demikian pula pertambangan lainnya. Tidak hanya di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan di Papua pun hutan tropis kita sudah mulai banyak yang berubah fungsi menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit.
Entah sampai kapan hal-hal seperti ini terus berlangsung dan merusak tatanan ekosistem hutan serta mengancam keberadaan keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Tidak hanya para penghuni di hutan, tatanan sosial budaya masyarakat adat di sekitar perkebunan kelapa sawit ini pun menjadi turut terganggu. Dengan hilangnya hutan berarti hilang juga sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia, karena hutan merupakan tempat mencari makanan, obat-obatan serta menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar rakyat khususnya yang bermukim di dekat hutan.
Manusia perusak lingkungan masih saja berkeliaran. Sudah saatnya segenap jajaran kementrian lingkungan hidup, para polisi hutan beserta peran masyarakat di sekitar hutan dioptimalkan jangan sampai peristiwa ini terus terulang lagi dan terulang lagi.
Coba kita tengok dan pelajari banyak suku-suku adat yang tersebar di seluruh peloksok Indonesia, mereka pada umumnya sudah bertindak sangat ramah lingkungan melalui kegiatan hidupnya sehari-hari, dan kita yang katanya orang kota, faktanya justru banyak yang bertindak kurang peduli terhadap lingkungan.
Begitu sangat banyak kearifan budaya lokal dari berbagai suku adat yang banyak tersebar di seluruh peloksok Indonesia. Salah satunya, kita bisa banyak belajar untuk menghargai lingkungan dan alam sekitar dari Suku Baduy di Desa Kanekes, Leuwidamar-Lebak, Banten, yang terletak sekitar 120 kilometer sebelah Barat Daya dari Jakarta. Karena lokasinya yang relatif dekat di satu provinsi, penulis sempat berkunjung kesana beberapa kali, untuk cari informasi sambil berolah raga jalan kaki di lingkungan perbukitan yang berudara bersih dan segar.
Berikut adalah kegiatan dan kehidupan Suku Baduy sehari-hari yang dapat dijadikan pelajaran berharga serta sesuai dengan usaha kita untuk mereduksi mengatasi bahaya Pemanasan Global (Global Warming) dan Perubahan Iklim (Climate Change) yang sedang kita hadapi sekarang ini.
Warga suku Baduy tidak diperbolehkan menebang pohon secara sembarangan, terutama pohon yang berada pada area hutan lindung karena diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan kejernihan sumber air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk diubah peruntukannya menjadi ladang atau kebon sayur/buah. Pernyataan jangan merusak hutan sudah sangat dipahami oleh segenap warga Baduy seperti pernah diungkapkan kokolot Baduy, Jaro Dainah: “Gunung ulah dilebur, Lebak ulah dirusak !” Seperti kita ketahui hutan tropis Indonesia banyak yang rusak dan berkurang karena keserakahan kegiatan penjarahan hutan secara liar (illegal logging) dan pembukaan lahan baru misalnya untuk perkebunan sawit dengan cara pintas membakar hutan yang mengakibatkan polusi udara sehingga Indonesia menempati urutan tiga besar penyumbang emisi di dunia dari segi kebakaran dan perusakan habitat hutannya.
Berladang/ bercocok tanam/ bertani merupakan pekerjaan utama suku Baduy. Tidak diperbolehkan penggunaan bahan-bahan kimia seperti pestisida terutama bagi orang Baduy Dalam yang hanya mengunakan pola tradisional organik dengan dibantu doa serta mantra-mantra. Dengan demikian pola tanam organik bebas kimia seperti ini, kenyataannya terbukti lebih bermanfaat dan menyehatkan dan malah sekarang mulai banyak ditiru oleh ‘orang kota’ yang peduli untuk menjaga kesehatannya.
Area pemukiman menggunakan bahan alamiah yang ramah lingkungan dan dibuat sendiri oleh warga Baduy secara bergotong-royong. Budaya saling menolong sangat menonjol diterapkan pada Suku Baduy, terutama jika dijumpai warga yang terkena musibah atau kesusahan. Seperti kita ketahui, budaya rasa kebersamaan dan empati tolong-menolong ini semakin tergerus di lingkungan perkotaan. Lantai panggung dan dinding rumah Suku Baduy menggunakan anyaman bambu, sedangkan atap dari bahan rumbia, membuat angina sangat leluasa berhembus menjadikan udara sejuk segar dan cahaya matahari secara alamiah dapat dimanfaatkan secara maksimal. Disini kita belajar untuk memanfaatkan sumber energi dari alam yang memang berlimpah, daripada menggunakan penyejuk udara buatan seperti ac yang boros listrik dan lampu terutama di siang hari.
Demikian pula dengan pembuatan fasilitas umum seperti jembatan untuk menyeberangi sungai, dibuat dari bahan-bahan alamiah seperti: jembatan bambu pada kampung Gajeboh, memanfaatkan rangkaian bambu besar dan panjang merupakan karya besar yang benar-benar indah dipandang mata dengan konstruksi yang ramah lingkungan.
Ada satu lagi jembatan yang sangat unik dan luar biasa indahnya, yaitu jembatan akar yang panjangnya 25m di atas Sungai Cisemeut, memanfaatkan akar dua buah pohon karet besar di kedua sisi sungai yang saling dililit/dipilin membentuk anyaman berbentuk jembatan sehingga dapat digunakan oleh orang untuk menyeberangi sungai. Sungguh suatu karya hebat yang tidak bisa dijumpai di kota-kota besar. Ini adalah karya di dunia nyata, tidak sekedar fiksi seperti jembatan akar yang terlihat pada film ‘Avatar’.
Pohon bambu banyak dijumpai di perkampungan Suku Baduy, hal ini sangat berperan membantu Bumi dalam menghadapi pemanasan global, karena penanaman bambu seluas satu juta are akan mengurangi hingga 4,8 juta ton emisi CO2 per tahun. *)
Hasil panen ladang di Baduy terutama padi. Padi ini disimpan di
lumbung-lumbung yang juga dibuat dari bahan bangunan alamiah seperti pada rumah dan bisa bertahan sampai puluhan bahkan ratusan tahun! Pada pondasi kaki lumbung (terutama milik warga Baduy Dalam) terdapat papan berbentuk bidang lingkaran yang berfungsi sebagai penghalang agar hama tikus tidak dapat masuk ke area lumbung penyimpanan beras. Padi dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan warga Baduy. Budaya adat Baduy juga mengatur bahwa padi yang dihasilkan suku Baduy tidak boleh diperjualbelikan, baik di dalam ataupun di luar Baduy. Padi hanya boleh diberikan secara gratis. Bila ada warga yang gagal panen atau kekurangan beras, warga lain secara gotong royong membantu mencukupi kebutuhan beras mereka yang tertimpa musibah. Sedangkan tanaman sayur dan buah, seperti kacang, durian, atau aren ditanam di antara padi pada lahan yang disebut kebon, dan juga biasa ditanam tumpang sari dengan tanaman padi. Semuanya ditanam secara organik dan alamiah.
Udara di kampung Baduy yang berbukit-bukit (sebagian kontur kemiringan tanah mencapai 45 sampai dengan 60 derajat) tergolong masih bersih dan segar. Salah satunya karena suku Baduy pantang menggunakan alat transportasi, karena itu asap dari knalpot pun tidak dijumpai di kampung ini. Tak jarang, warga Baduy-terutama laki-laki-meninggalkan ladangnya bila pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, kegiatan bepergian ini dilakukan dengan berjalan kaki walau pun harus ke luar kota ! Disini kita bisa belajar menciptakan lingkungan yang bersih dengan tidak selalu tergantung dengan kendaraan bermotor yang asapnya akan menyumbang emisi CO2 penyebab terjadinya pemanasan global. Budaya jalan kaki bisa kita terapkan untuk tujuan dekat di sekitar lingkungan kita atau dijadikan kebiasaan berolah raga jalan setiap pagi atau sore yang bisa menyehatkan dan menyegarkan tubuh pada setiap harinya.
Kain dan baju yang dipakai oleh warga Baduy merupakan hasil tenunan sendiri dengan memanfaatkan bahan dan pewarnaan alamiah yang ramah lingkungan dari hutan yang ada. Demikian pula tas dibuat sebagai kerajinan tangan suku Baduy (kain tenun dan tas dapat dibeli sebagai oleh-oleh dari suku Baduy Luar yang tinggal mulai tapak batas sampai dengan jembatan bambu di kampung Gajeboh). Melalui warna baju yang dikenakan kita dapat membedakan suku Baduy Luar umumnya mengenakan warna hitam sedangkan Baduy Dalam warna putih. Untuk kegiatan membersihkan gigi dan badan juga seperti yang tercantum pada ketentuan peraturan yang ditulis pada prasasti di gerbang masuk pemukiman Suku Baduy, tidak boleh menggunakan odol/pasta gigi dan sabun, karena akan mencemari sungai dan lingkungan. Segala kegiatan ini menunjukkan betapa bersahabatnya warga Baduy dengan alam sekitar tanpa mencemarinya dengan segala sampah kimia, busa odol dan sabun, kemasan plastik dan sebagainya.
Makanan dan minuman warga baduy dibuat sendiri dari kegiatan berladang, dan pasti tidak tercemar bahan kimia pengawet seperti formalin dan borax. Salah satu minuman khas yang dibuat adalah campuran jahe dan gula aren (bisa dibeli sebagai oleh-oleh) yang sungguh sangat menyegarkan badan setelah jalan-jalan diperkampungan Baduy yang berbukit dengan pemandangan alamiah yang masih indah dan berudara segar. Kita harus berjalan dari terminal Ciboleger sekitar 3 kilometer ke jembatan bambu Baduy Luar di kampung Gajeboh dan sekitar 12 kilometer ke kampung Baduy Dalam di Cibeo. Sungguh kegiatan jalan-jalan di perbukitan (hiking) yang cukup menjadikan tubuh berkeringat tetapi pasti sangat menyehatkan !
Kita juga bisa belajar banyak dari budaya makan suku Baduy, kita terapkan budaya pola makan sehat banyak serat, organik dan segar yang justru banyak terdapat pada makanan vegetarian tradisionil asli Indonesia seperti lalapan, gado-gado, lotek, karedok, asinan sayur dan buah, aneka rujak, ketoprak, kupat tahu, toge goreng, pecel, nasi lengko, sayur asem, lontong sayur, tahu/tempe, pepes jamur dan oncom serta masih banyak lagi lainnya. Dengan banyak meng-konsumsi pangan lokal, berarti kita telah turut berperan menyelamatkan lingkungan, karena telah memutus rantai transportasi yang menjadi penyebab terbesar kedua terjadinya Pemanasan Global saat ini, jika kita bisa mengurangi makan daging (flexitarian) dan bahkan bisa berhenti makan daging (menjadi vegetarian) maka kita akan memutus rantai pangan daging dari industri peternakan yang menjadi penyebab utama terbesar terjadinya Pemanasan Global !
Lihatlah, untuk konsumsi sepotong daging (sapi, domba, babi, ayam dsb) pada piring makan kita, konversi energi yang dibutuhkan setara dengan menyalakan lampu 100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging menyumbang 36,4 kg CO2. Jika kita membebaskan piring kita dari konsumsi daging seminggu sekali saja efeknya sangat positif untuk menghambat laju pemanasan global yang terjadi sekarang ini, karena mempunyai efek 7,6 kali lebih cepat dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah tangga dalam setahun.
Sebagai gambaran industri peternakan dunia menyumbang 35 sampai dengan 40 persen emisi gas metana (CH4), 9 persen emisi gas CO2, dan menyumbang 65 persen emisi gas nitrous oksida (N2O), Ketiganya adalah gas rumah kaca (GRK) paling utama. GRK bertanggung jawab pada meningkatnya suhu atmosfer Bumi. Peternakan menyumbang sekitar 51 persen emisi GRK total dunia. *) Untuk diketahui efek pemanasan global gas metana adalah 23 kali lebih kuat dari CO2 dan N2O adalah 296 kali dari CO2.
Dengan sistem kepercayaan, adat-istiadat, serta niat untuk menjaga keseimbangan alam, suku Baduy terbukti mampu mandiri menghidupi diri mereka sekaligus melestarikan alam sekitarnya. Warga suku Baduy sangat cinta produk lokal buatan mereka sendiri, akibat positifnya mereka tidak ‘kena’ resesi ekonomi global dan yang pasti tidak turut menyumbang GRK penyebab terjadinya Pemanasan Global di bumi kita. Berdasarkan penelitian dan perhitungan para ahli lingkungan dunia, jika satu juta orang mengubah gaya hidup dengan berbelanja bahan-bahan makanan produk lokal selama setahun, kita dapat mengurangi emisi CO2 hingga 625.000 ton. *)
Begitu banyak hal yang dapat kita pelajari dari Suku Baduy yang kata orang kota masih ‘primitif’ namun sebenarnya telah bertindak sangat peduli ingkungan. Pemukimannya rapih, lingkungannya bersih, udaranya segar, sungainya tak tercemar oleh segala macam sampah seperti di perkotaan dan yang pasti hutannya masih terlihat hijau alamiah. Semoga saja, budaya adat mereka tidak serta-merta berubah akibat pengaruh yang datang dari para tamu serta turis yang silih berganti mengunjungi kampungnya yang memang terlihat masih unik, bersih dan sangat alamiah.
Anda tertarik untuk berkunjung ke Perkampungan Suku Baduy ?
Mau naik kendaraan pribadi atau kendaraan umum seperti bus antar kota dan kereta api tujuan kota Rangkas Bitung, lanjut ke arah terminal Ciboleger. Jika belum punya teman untuk petunjuk jalan dapat memanfaatkan jasa penduduk lokal untuk menemani agar tidak tersesat. Lakukan pengisian daftar tamu di rumah jaro dekat tugu batas gerbang masuk Perkampungan Baduy, beri sumbangan sukarela untuk keamanan dan perawatan kebersihan lingkungan, lalu tinggal pilih tujuan mau lihat obyek jembatan bambu, jembatan akar atau malah sampai lokasi Baduy Dalam (kecuali pada bulan Kawalu) silahkan saja.
Namun mohon diperhatikan beberapa ketentuan dan larangan seperti: tidak menebang pohon secara sembarangan, mencabut atau merusak tanaman sepanjang jalan yang dilalui, tidak menangkap atau membunuh binatang yang ditemui di perjalanan, tidak membuang sampah sembarangan (terutama yang berbahan kaleng dan plastik) di areal pemukiman termasuk sungai, tidak membuang puntung rokok yang masih menyala dan meninggalkan api bekas masak/unggun dalam keadaan menyala serta ketentuan-ketentuan lainnya yang tertera pada prasasti di dekat gerbang masuk.
Dan hal yang paling penting siapkan stamina anda untuk menghadapi trek jalan setapak mendaki yang ada dan bila belum terbiasa berjalan di tanah yang basah dan licin, hindari berkunjung pada saat musim hujan.
Ayo kita dukung segala program untuk menjadikan Bumi semakin hijau ( Go Green ), karena penghijauan merupakan salah satu cara ampuh untuk mengatasi dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang sedang dialami Bumi kita yang cuma satu ini. Bagi anda yang ingin tahu lebih lanjut, masih ada 1001 cara untuk membantu Bumi dari dampak negatif pemanasan global dimulai dari rumah kita masing-masing, bisa dilihat dan klik disini.
Keterangan:
*) Sumber: The Live Earth-Global Warming Survival Handbook 2007, sebagaimana ditulis pada kolom ‘Kita dan Emisi’ Kompas dalam rangka KTT Kopenhagen.
Foto: koleksi pribadi ditambah ‘browsing’ dari Google.
Atas nama pembangunan, penghijauan berubah jadi hutan beton megah
Atas nama keserakahan, hutan-hutan dibabat seliar-liarnya
Atas nama kesengajaan, dan keapatisan hutan-hutan terbakar
Kini keadaan Bumi semakin meranggas
Penggundulan hutan menjadikan udara gerah semakin panas
Lapisan es di kutub Bumi pun semakin mencair dan semakin banyak
Kini keadaan Bumi semakin merana
Perubahan iklim, pemanasan global berdampak bencana
Gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, banjir, hujan badai dimana-mana( Selengkapnya silahkan klik pada puisi: Keseimbangan Ekosistem Bumi Terusik Sudah )
Suatu kenyataan pahit, yang bisa kita lihat dari keadaan hutan tropis kita: pembalakan hutan secara liar (illegal logging) dan kebakaran hutan baik disengaja atau pun tidak. Dalam satu minggu terakhir, Kompas cetak masih memberitakan pembalakan liar yang masih terus terjadi di hutan sekitar Riau, Sumatera. Pertambangan batu bara liar atau resmi tapi tak dikontrol di Taman Hutan Rakyat Bukit Suharto Kalimantan Timur yang masih terus berlangsung serta meninggalkan kerusakan lingkungan berupa danau bekas galian disana-sini, demikian pula pertambangan lainnya. Tidak hanya di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan di Papua pun hutan tropis kita sudah mulai banyak yang berubah fungsi menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit.
Entah sampai kapan hal-hal seperti ini terus berlangsung dan merusak tatanan ekosistem hutan serta mengancam keberadaan keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Tidak hanya para penghuni di hutan, tatanan sosial budaya masyarakat adat di sekitar perkebunan kelapa sawit ini pun menjadi turut terganggu. Dengan hilangnya hutan berarti hilang juga sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia, karena hutan merupakan tempat mencari makanan, obat-obatan serta menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar rakyat khususnya yang bermukim di dekat hutan.
Manusia perusak lingkungan masih saja berkeliaran. Sudah saatnya segenap jajaran kementrian lingkungan hidup, para polisi hutan beserta peran masyarakat di sekitar hutan dioptimalkan jangan sampai peristiwa ini terus terulang lagi dan terulang lagi.
Coba kita tengok dan pelajari banyak suku-suku adat yang tersebar di seluruh peloksok Indonesia, mereka pada umumnya sudah bertindak sangat ramah lingkungan melalui kegiatan hidupnya sehari-hari, dan kita yang katanya orang kota, faktanya justru banyak yang bertindak kurang peduli terhadap lingkungan.
Begitu sangat banyak kearifan budaya lokal dari berbagai suku adat yang banyak tersebar di seluruh peloksok Indonesia. Salah satunya, kita bisa banyak belajar untuk menghargai lingkungan dan alam sekitar dari Suku Baduy di Desa Kanekes, Leuwidamar-Lebak, Banten, yang terletak sekitar 120 kilometer sebelah Barat Daya dari Jakarta. Karena lokasinya yang relatif dekat di satu provinsi, penulis sempat berkunjung kesana beberapa kali, untuk cari informasi sambil berolah raga jalan kaki di lingkungan perbukitan yang berudara bersih dan segar.
Berikut adalah kegiatan dan kehidupan Suku Baduy sehari-hari yang dapat dijadikan pelajaran berharga serta sesuai dengan usaha kita untuk mereduksi mengatasi bahaya Pemanasan Global (Global Warming) dan Perubahan Iklim (Climate Change) yang sedang kita hadapi sekarang ini.
Warga suku Baduy tidak diperbolehkan menebang pohon secara sembarangan, terutama pohon yang berada pada area hutan lindung karena diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan kejernihan sumber air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk diubah peruntukannya menjadi ladang atau kebon sayur/buah. Pernyataan jangan merusak hutan sudah sangat dipahami oleh segenap warga Baduy seperti pernah diungkapkan kokolot Baduy, Jaro Dainah: “Gunung ulah dilebur, Lebak ulah dirusak !” Seperti kita ketahui hutan tropis Indonesia banyak yang rusak dan berkurang karena keserakahan kegiatan penjarahan hutan secara liar (illegal logging) dan pembukaan lahan baru misalnya untuk perkebunan sawit dengan cara pintas membakar hutan yang mengakibatkan polusi udara sehingga Indonesia menempati urutan tiga besar penyumbang emisi di dunia dari segi kebakaran dan perusakan habitat hutannya.
Berladang/ bercocok tanam/ bertani merupakan pekerjaan utama suku Baduy. Tidak diperbolehkan penggunaan bahan-bahan kimia seperti pestisida terutama bagi orang Baduy Dalam yang hanya mengunakan pola tradisional organik dengan dibantu doa serta mantra-mantra. Dengan demikian pola tanam organik bebas kimia seperti ini, kenyataannya terbukti lebih bermanfaat dan menyehatkan dan malah sekarang mulai banyak ditiru oleh ‘orang kota’ yang peduli untuk menjaga kesehatannya.
Area pemukiman menggunakan bahan alamiah yang ramah lingkungan dan dibuat sendiri oleh warga Baduy secara bergotong-royong. Budaya saling menolong sangat menonjol diterapkan pada Suku Baduy, terutama jika dijumpai warga yang terkena musibah atau kesusahan. Seperti kita ketahui, budaya rasa kebersamaan dan empati tolong-menolong ini semakin tergerus di lingkungan perkotaan. Lantai panggung dan dinding rumah Suku Baduy menggunakan anyaman bambu, sedangkan atap dari bahan rumbia, membuat angina sangat leluasa berhembus menjadikan udara sejuk segar dan cahaya matahari secara alamiah dapat dimanfaatkan secara maksimal. Disini kita belajar untuk memanfaatkan sumber energi dari alam yang memang berlimpah, daripada menggunakan penyejuk udara buatan seperti ac yang boros listrik dan lampu terutama di siang hari.
Demikian pula dengan pembuatan fasilitas umum seperti jembatan untuk menyeberangi sungai, dibuat dari bahan-bahan alamiah seperti: jembatan bambu pada kampung Gajeboh, memanfaatkan rangkaian bambu besar dan panjang merupakan karya besar yang benar-benar indah dipandang mata dengan konstruksi yang ramah lingkungan.
Ada satu lagi jembatan yang sangat unik dan luar biasa indahnya, yaitu jembatan akar yang panjangnya 25m di atas Sungai Cisemeut, memanfaatkan akar dua buah pohon karet besar di kedua sisi sungai yang saling dililit/dipilin membentuk anyaman berbentuk jembatan sehingga dapat digunakan oleh orang untuk menyeberangi sungai. Sungguh suatu karya hebat yang tidak bisa dijumpai di kota-kota besar. Ini adalah karya di dunia nyata, tidak sekedar fiksi seperti jembatan akar yang terlihat pada film ‘Avatar’.
Pohon bambu banyak dijumpai di perkampungan Suku Baduy, hal ini sangat berperan membantu Bumi dalam menghadapi pemanasan global, karena penanaman bambu seluas satu juta are akan mengurangi hingga 4,8 juta ton emisi CO2 per tahun. *)
Hasil panen ladang di Baduy terutama padi. Padi ini disimpan di
lumbung-lumbung yang juga dibuat dari bahan bangunan alamiah seperti pada rumah dan bisa bertahan sampai puluhan bahkan ratusan tahun! Pada pondasi kaki lumbung (terutama milik warga Baduy Dalam) terdapat papan berbentuk bidang lingkaran yang berfungsi sebagai penghalang agar hama tikus tidak dapat masuk ke area lumbung penyimpanan beras. Padi dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan pangan warga Baduy. Budaya adat Baduy juga mengatur bahwa padi yang dihasilkan suku Baduy tidak boleh diperjualbelikan, baik di dalam ataupun di luar Baduy. Padi hanya boleh diberikan secara gratis. Bila ada warga yang gagal panen atau kekurangan beras, warga lain secara gotong royong membantu mencukupi kebutuhan beras mereka yang tertimpa musibah. Sedangkan tanaman sayur dan buah, seperti kacang, durian, atau aren ditanam di antara padi pada lahan yang disebut kebon, dan juga biasa ditanam tumpang sari dengan tanaman padi. Semuanya ditanam secara organik dan alamiah.
Udara di kampung Baduy yang berbukit-bukit (sebagian kontur kemiringan tanah mencapai 45 sampai dengan 60 derajat) tergolong masih bersih dan segar. Salah satunya karena suku Baduy pantang menggunakan alat transportasi, karena itu asap dari knalpot pun tidak dijumpai di kampung ini. Tak jarang, warga Baduy-terutama laki-laki-meninggalkan ladangnya bila pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, kegiatan bepergian ini dilakukan dengan berjalan kaki walau pun harus ke luar kota ! Disini kita bisa belajar menciptakan lingkungan yang bersih dengan tidak selalu tergantung dengan kendaraan bermotor yang asapnya akan menyumbang emisi CO2 penyebab terjadinya pemanasan global. Budaya jalan kaki bisa kita terapkan untuk tujuan dekat di sekitar lingkungan kita atau dijadikan kebiasaan berolah raga jalan setiap pagi atau sore yang bisa menyehatkan dan menyegarkan tubuh pada setiap harinya.
Kain dan baju yang dipakai oleh warga Baduy merupakan hasil tenunan sendiri dengan memanfaatkan bahan dan pewarnaan alamiah yang ramah lingkungan dari hutan yang ada. Demikian pula tas dibuat sebagai kerajinan tangan suku Baduy (kain tenun dan tas dapat dibeli sebagai oleh-oleh dari suku Baduy Luar yang tinggal mulai tapak batas sampai dengan jembatan bambu di kampung Gajeboh). Melalui warna baju yang dikenakan kita dapat membedakan suku Baduy Luar umumnya mengenakan warna hitam sedangkan Baduy Dalam warna putih. Untuk kegiatan membersihkan gigi dan badan juga seperti yang tercantum pada ketentuan peraturan yang ditulis pada prasasti di gerbang masuk pemukiman Suku Baduy, tidak boleh menggunakan odol/pasta gigi dan sabun, karena akan mencemari sungai dan lingkungan. Segala kegiatan ini menunjukkan betapa bersahabatnya warga Baduy dengan alam sekitar tanpa mencemarinya dengan segala sampah kimia, busa odol dan sabun, kemasan plastik dan sebagainya.
Makanan dan minuman warga baduy dibuat sendiri dari kegiatan berladang, dan pasti tidak tercemar bahan kimia pengawet seperti formalin dan borax. Salah satu minuman khas yang dibuat adalah campuran jahe dan gula aren (bisa dibeli sebagai oleh-oleh) yang sungguh sangat menyegarkan badan setelah jalan-jalan diperkampungan Baduy yang berbukit dengan pemandangan alamiah yang masih indah dan berudara segar. Kita harus berjalan dari terminal Ciboleger sekitar 3 kilometer ke jembatan bambu Baduy Luar di kampung Gajeboh dan sekitar 12 kilometer ke kampung Baduy Dalam di Cibeo. Sungguh kegiatan jalan-jalan di perbukitan (hiking) yang cukup menjadikan tubuh berkeringat tetapi pasti sangat menyehatkan !
Kita juga bisa belajar banyak dari budaya makan suku Baduy, kita terapkan budaya pola makan sehat banyak serat, organik dan segar yang justru banyak terdapat pada makanan vegetarian tradisionil asli Indonesia seperti lalapan, gado-gado, lotek, karedok, asinan sayur dan buah, aneka rujak, ketoprak, kupat tahu, toge goreng, pecel, nasi lengko, sayur asem, lontong sayur, tahu/tempe, pepes jamur dan oncom serta masih banyak lagi lainnya. Dengan banyak meng-konsumsi pangan lokal, berarti kita telah turut berperan menyelamatkan lingkungan, karena telah memutus rantai transportasi yang menjadi penyebab terbesar kedua terjadinya Pemanasan Global saat ini, jika kita bisa mengurangi makan daging (flexitarian) dan bahkan bisa berhenti makan daging (menjadi vegetarian) maka kita akan memutus rantai pangan daging dari industri peternakan yang menjadi penyebab utama terbesar terjadinya Pemanasan Global !
Lihatlah, untuk konsumsi sepotong daging (sapi, domba, babi, ayam dsb) pada piring makan kita, konversi energi yang dibutuhkan setara dengan menyalakan lampu 100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging menyumbang 36,4 kg CO2. Jika kita membebaskan piring kita dari konsumsi daging seminggu sekali saja efeknya sangat positif untuk menghambat laju pemanasan global yang terjadi sekarang ini, karena mempunyai efek 7,6 kali lebih cepat dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah tangga dalam setahun.
Sebagai gambaran industri peternakan dunia menyumbang 35 sampai dengan 40 persen emisi gas metana (CH4), 9 persen emisi gas CO2, dan menyumbang 65 persen emisi gas nitrous oksida (N2O), Ketiganya adalah gas rumah kaca (GRK) paling utama. GRK bertanggung jawab pada meningkatnya suhu atmosfer Bumi. Peternakan menyumbang sekitar 51 persen emisi GRK total dunia. *) Untuk diketahui efek pemanasan global gas metana adalah 23 kali lebih kuat dari CO2 dan N2O adalah 296 kali dari CO2.
Dengan sistem kepercayaan, adat-istiadat, serta niat untuk menjaga keseimbangan alam, suku Baduy terbukti mampu mandiri menghidupi diri mereka sekaligus melestarikan alam sekitarnya. Warga suku Baduy sangat cinta produk lokal buatan mereka sendiri, akibat positifnya mereka tidak ‘kena’ resesi ekonomi global dan yang pasti tidak turut menyumbang GRK penyebab terjadinya Pemanasan Global di bumi kita. Berdasarkan penelitian dan perhitungan para ahli lingkungan dunia, jika satu juta orang mengubah gaya hidup dengan berbelanja bahan-bahan makanan produk lokal selama setahun, kita dapat mengurangi emisi CO2 hingga 625.000 ton. *)
Begitu banyak hal yang dapat kita pelajari dari Suku Baduy yang kata orang kota masih ‘primitif’ namun sebenarnya telah bertindak sangat peduli ingkungan. Pemukimannya rapih, lingkungannya bersih, udaranya segar, sungainya tak tercemar oleh segala macam sampah seperti di perkotaan dan yang pasti hutannya masih terlihat hijau alamiah. Semoga saja, budaya adat mereka tidak serta-merta berubah akibat pengaruh yang datang dari para tamu serta turis yang silih berganti mengunjungi kampungnya yang memang terlihat masih unik, bersih dan sangat alamiah.
Anda tertarik untuk berkunjung ke Perkampungan Suku Baduy ?
Mau naik kendaraan pribadi atau kendaraan umum seperti bus antar kota dan kereta api tujuan kota Rangkas Bitung, lanjut ke arah terminal Ciboleger. Jika belum punya teman untuk petunjuk jalan dapat memanfaatkan jasa penduduk lokal untuk menemani agar tidak tersesat. Lakukan pengisian daftar tamu di rumah jaro dekat tugu batas gerbang masuk Perkampungan Baduy, beri sumbangan sukarela untuk keamanan dan perawatan kebersihan lingkungan, lalu tinggal pilih tujuan mau lihat obyek jembatan bambu, jembatan akar atau malah sampai lokasi Baduy Dalam (kecuali pada bulan Kawalu) silahkan saja.
Namun mohon diperhatikan beberapa ketentuan dan larangan seperti: tidak menebang pohon secara sembarangan, mencabut atau merusak tanaman sepanjang jalan yang dilalui, tidak menangkap atau membunuh binatang yang ditemui di perjalanan, tidak membuang sampah sembarangan (terutama yang berbahan kaleng dan plastik) di areal pemukiman termasuk sungai, tidak membuang puntung rokok yang masih menyala dan meninggalkan api bekas masak/unggun dalam keadaan menyala serta ketentuan-ketentuan lainnya yang tertera pada prasasti di dekat gerbang masuk.
Dan hal yang paling penting siapkan stamina anda untuk menghadapi trek jalan setapak mendaki yang ada dan bila belum terbiasa berjalan di tanah yang basah dan licin, hindari berkunjung pada saat musim hujan.
Ayo kita dukung segala program untuk menjadikan Bumi semakin hijau ( Go Green ), karena penghijauan merupakan salah satu cara ampuh untuk mengatasi dampak pemanasan global dan perubahan iklim yang sedang dialami Bumi kita yang cuma satu ini. Bagi anda yang ingin tahu lebih lanjut, masih ada 1001 cara untuk membantu Bumi dari dampak negatif pemanasan global dimulai dari rumah kita masing-masing, bisa dilihat dan klik disini.
Keterangan:
*) Sumber: The Live Earth-Global Warming Survival Handbook 2007, sebagaimana ditulis pada kolom ‘Kita dan Emisi’ Kompas dalam rangka KTT Kopenhagen.
Foto: koleksi pribadi ditambah ‘browsing’ dari Google.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar