Para Geolog, terutama yang berdiam di Bandung, mengerti betul ada patahan memanjang 22 km melewati kota kecamatan Lembang dan Cisarua, kira-kira 10 km utara Bandung. Banyak yang memperdebatkan apakah patahan ini aktif atau tidak aktif. Berikut ini pernyataan Dr. Eko Yulianto yang dimuat di Kompas.online 6 Oktober 2009:
Patahan Lembang Perlu Diwaspadai
KOMPAS.COM/TRI WAHONO
Eko Yulianto dengan latar belakang bukit yang menjadi bagian Patahan Lembang di Parongpong, Bandung Barat.
Selasa, 6 Oktober 2009 | 20:05 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono
BANDUNG, KOMPAS.com — Patahan Lembang yang berada di utara Kota Bandung akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian dan kajian sains, baik oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), maupun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bandung. Sesar yang diyakini aktif ini menyimpan ancaman besar akan gempa.
Eko Yulianto, peneliti Paleoseismologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, ditemui di kantornya, Selasa (6/10), menuturkan bahwa aktif atau tidaknya Patahan Lembang saat ini tidak perlu lagi diperdebatkan.
"Berdasarkan hasil penelitian LIPI, sesar ini ternyata memiliki catatan periode pergerakan (gempa) dengan kisaran 400-700 tahun. Di dalam sampel endapan tanah bekas rawa yang ada di sekitar lokasi, diketahui bahwa setidaknya ada tujuh lapis tanah. Artinya, setidaknya pernah terjadi tujuh kali pergerakan," ungkapnya.
Dengan panjang bentang Patahan Lembang 22 kilometer, Eko menuturkan bahwa potensi gempa bisa mencapai 6,7 skala Ritcher. "Itu adalah skenario terburuknya, jika gerakan yang terjadi adalah berbarengan," ucapnya.
Gempa permukaan dengan kekuatan sebesar ini, menurutnya, akan berdampak luar biasa terhadap kawasan di sekitarnya. Ia bahkan memperkirakan, dampak gempa itu nantinya mampu menyamai kejadian gempa di Yogya, Mei 2006, yang menewaskan ribuan warga.
Masalahnya, kondisi tanah di Bandung tidak jauh beda dengan di Yogya, yang merupakan tanah endapan muda bekas danau purba. "Lapisan tanah ini belum terkonsolidasi betul sehingga efeknya mirip bubur di mangkuk ketika digoyangkan. uncangannya berhenti, tetapi goncangan masih terjadi," ucap alumnus Geologi Institut Teknologi Bandung ini.
Kelas dunia
Untuk itu, cukup dengan kekuatan kecil seperti terjadi di DIY, gempa dangkal yang terjadi bisa menimbulkan efek merusak luar biasa. Bahkan, mengutip pernyataan dari Brian Atwater, peneliti paleotsunami ternama dari United States Geological Survey (USGS) yang menjadi rekan kerjanya dalam serangkaian riset, ancaman bencana Patahan Lembang termasuk kategori kelas dunia.
"Sebab, patahan ini ternyata berada di dekat kawasan kota yang sangat padat. Hal yang jarang terjadi di dunia," ucapnya. Menurutnya, ancaman potensi gempa Patahan Lembang yang disampaikannya ini bukan untuk membuat resah warga di Bandung.
"Sebaliknya, kami ingin mengingatkan warga agar bisa bersiap-siap dan waspada. Bagaimanapun, informasi adalah bentuk dari peringatan dini yang paling dini," ucapnya.
Patahan Lembang Perlu Diwaspadai
KOMPAS.COM/TRI WAHONO
Eko Yulianto dengan latar belakang bukit yang menjadi bagian Patahan Lembang di Parongpong, Bandung Barat.
Selasa, 6 Oktober 2009 | 20:05 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono
BANDUNG, KOMPAS.com — Patahan Lembang yang berada di utara Kota Bandung akhir-akhir ini menjadi pusat perhatian dan kajian sains, baik oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), maupun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bandung. Sesar yang diyakini aktif ini menyimpan ancaman besar akan gempa.
Eko Yulianto, peneliti Paleoseismologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, ditemui di kantornya, Selasa (6/10), menuturkan bahwa aktif atau tidaknya Patahan Lembang saat ini tidak perlu lagi diperdebatkan.
"Berdasarkan hasil penelitian LIPI, sesar ini ternyata memiliki catatan periode pergerakan (gempa) dengan kisaran 400-700 tahun. Di dalam sampel endapan tanah bekas rawa yang ada di sekitar lokasi, diketahui bahwa setidaknya ada tujuh lapis tanah. Artinya, setidaknya pernah terjadi tujuh kali pergerakan," ungkapnya.
Dengan panjang bentang Patahan Lembang 22 kilometer, Eko menuturkan bahwa potensi gempa bisa mencapai 6,7 skala Ritcher. "Itu adalah skenario terburuknya, jika gerakan yang terjadi adalah berbarengan," ucapnya.
Gempa permukaan dengan kekuatan sebesar ini, menurutnya, akan berdampak luar biasa terhadap kawasan di sekitarnya. Ia bahkan memperkirakan, dampak gempa itu nantinya mampu menyamai kejadian gempa di Yogya, Mei 2006, yang menewaskan ribuan warga.
Masalahnya, kondisi tanah di Bandung tidak jauh beda dengan di Yogya, yang merupakan tanah endapan muda bekas danau purba. "Lapisan tanah ini belum terkonsolidasi betul sehingga efeknya mirip bubur di mangkuk ketika digoyangkan. uncangannya berhenti, tetapi goncangan masih terjadi," ucap alumnus Geologi Institut Teknologi Bandung ini.
Kelas dunia
Untuk itu, cukup dengan kekuatan kecil seperti terjadi di DIY, gempa dangkal yang terjadi bisa menimbulkan efek merusak luar biasa. Bahkan, mengutip pernyataan dari Brian Atwater, peneliti paleotsunami ternama dari United States Geological Survey (USGS) yang menjadi rekan kerjanya dalam serangkaian riset, ancaman bencana Patahan Lembang termasuk kategori kelas dunia.
"Sebab, patahan ini ternyata berada di dekat kawasan kota yang sangat padat. Hal yang jarang terjadi di dunia," ucapnya. Menurutnya, ancaman potensi gempa Patahan Lembang yang disampaikannya ini bukan untuk membuat resah warga di Bandung.
"Sebaliknya, kami ingin mengingatkan warga agar bisa bersiap-siap dan waspada. Bagaimanapun, informasi adalah bentuk dari peringatan dini yang paling dini," ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar