Makkah Sebagai Kiblat Waktu



Beberapa pekan lalu, tepatnya Sabtu (19/4), di Doha, Qatar, berlangsung hajatan ilmiah penting bagi dunia Islam. Sejumlah ilmuwan dan ulama Islam berkumpul, mendiskusikan kemungkinan mengalihkan perhitungan waktu yang sudah baku selama ini, dari mengacu pada Greenwich Mean Time (GMT) sebagai meridian nol, berganti menjadikan Makkah sebagai awal mula perhitungan waktu.

Konferensi ilmiah yang dibuka oleh Dr Yusuf Qaradhawi itu bertajuk: ”Makkah Sebagai Pusat Bumi, Antara Praktik dan Teori”. Selain Yusuf Qaradhawi, hadir pula sebagai pembahas geolog Mesir, Dr Zaglur Najjar, yang juga dosen ilmu bumi di Wales University, Inggris; dan saintis yang memelopori jam Makkah, Ir Yaseen Shaok


Ka’bah

Ka’bah berada di 21′25″ LU dan 39′50″ BT - Titik awal perhitungan waktu


Hasil konferensi itu mengimbau umat Islam sedunia menjadikan Makkah–Ka’bah berada di 21 derajat 25 menit lintang utara dan 39 derajat 50 menit bujur timur–sebagai titik awal perhitungan waktu. Alasannya sederhana, Makkah, menurut kajian ilmiah, adalah ‘pusat bumi‘.

Kajian itu dilakukan Prof Dr Hosien Kamal El Din Ibrahim, ilmuwan asal Mesir, yang dipublikasikan di The Egyptian Scholars of The Sun and Space Research Center. Pusat penelitian yang berpusat di Kairo, Mesir, itu membuat peta baru dunia.

Di dalam peta dunia itu terlukis, garis ditarik dari kota-kota di penjuru dunia ke arah Makkah. Dengan menggunakan perkiraan matematika dan kaidah spherical triangle (segitiga bola), Hosien menyimpulkan kedudukan Makkah berada di tengah-tengah daratan bumi.



Peta Arab Saudi - Makkah berada di tengah daratan bumi [Foto: WorldAtlas.com]

Makkah, tempat Ka’bah berada, disimpulkan merupakan ‘pusat bumi‘. Ini sekaligus membuktikan bahwa bumi berkembang dari Makkah. Sebagaimana lazim diketahui, setiap tahun jutaan umat Islam sedunia mendatangi Ka’bah di Makkah untuk melaksanakan haji. Dalam salah satu prosesi thawaf, jutaan umat Islam mengelilingi Ka’bah, dengan arah berlawanan jarum jam. Arah itu bertentangan dengan lazimnya perputaran waktu sesuai perhitungan Greenwich.

Penelitian menggunakan program komputer oleh Hosien, sebelumnya juga pernah dilakukan menggunakan perhitungan matematika sederhana oleh ilmuwan Islam, Abi Fadlallah Al-Emary, yang meninggal pada 749 H. Peta itu kemudian diabadikan di kitabnya Masalik Al Absar Fi Mamalik Al Amsar.

Peta yang melukiskan arah kiblat, Makkah, juga dibuat pemikir Islam, Al-Safaksy (meninggal pada 958 H), menggunakan perhitungan astronomi. Hasil kajian dua ilmuwan itu juga membuktikan bahwa Makkah adalah ‘pusat bumi’.

Kembali ke konferensi di Doha, seperti dilansir BBC, salah satu pembahas menjelaskan, Makkah berada di titik lintang yang persis lurus dengan titik magnetik di Kutub Utara. Kondisi ini tak dimiliki oleh kota-kota lain, bahkan Greenwich yang ditetapkan sebagai meridian nol.

Apalagi, tutur geolog tersebut, penetapan Greenwich sebagai mula perhitungan waktu dilakukan oleh Inggris yang kala itu merupakan kekuatan kolonial super power dunia. Karenanya, sangat wajar, jika Makkah ditetapkan sebagai titik nol meridian, menggantikan Greenwich.







greater_london.png

Greenwich–yang berada di bujur nol derajat–disepakati sebagai mula perhitungan waktu pada 1884. Dari Greenwichlah, bumi dibagi menjadi garis-garis bujur imajiner. Setiap 15 derajat, sama dengan satu jam. Indonesia, dari Greenwich, terletak di 95 derajat bujur timur sampai 141 derajat bujur timur.

Qaradhawi yang juga ketua Asosiasi Ulama Islam Internasional itu mendukung dunia Islam menjadikan Makkah sebagai titik awal perhitungan waktu, menggantikan Greenwich. Dalam sambutannya, Qaradhawi menjelaskan mengapa Allah SWT menjadikan Baitul Haram sebagai kiblat umat Islam di seantero jagad.

”Kajian ilmiah modern itu meneguhkan kemuliaan kiblat umat Islam. Juga menegaskan lagi teori bahwa Makkah sebagai pusat bumi. Ini adalah sama dengan penegasan jati diri keislaman serta menopang kemuliaan umat Islam atas agama, umat, dan peradabannya,” ujar Qaradhawi.

Konferensi di Qatar merupakan bagian dari upaya dunia Islam mencari bukti saintifik dari Alquran. Ide dasarnya adalah kebenaran ilmiah sudah tertera di Alquran, dan tugas para ilmuwan mencari bukti-bukti yang sudah diterangkan dalam Alquran tersebut.

Menanggapi imbauan ulama Islam dalam konferensi tersebut, astronom ITB, Moedji Raharto, menyatakan pembagian waktu dengan memulai dari Makkah tidak menjadi masalah. ”Itu membuat budaya baru di tengah kemapanan sistem yang sudah ada,” katanya saat dihubungi Republika, kemarin malam.

Sebab, selama ini seluruh kegiatan di dunia merujuk pada waktu Greenwich. Mulai dari transaksi perbankan, perhitungan waktu di internet, dunia penerbangan, setting jam di kantor-kantor, seluruhnya merujuk perhitungan waktu Greenwich. Hal ini patut untuk dipertimbangkan.

Ketika menetapkan Makkah sebagai meridian nol–sebagaimana Greenwich saat ini–perlu usaha yang besar mengubah kebiasaan yang sudah mapan tersebut. ”Ini butuh transformasi,” paparnya.

Tak hanya itu, upaya menjadikan Makkah seperti Greenwich membutuhkan sosialisasi yang besar dan dana tak sedikit. Untuk itu, menurutnya, harus dilihat aspek keuntungannya apa saja, atau malah membingungkan.

Apalagi, selama ini Makkah sudah menjadi pusat perhatian dunia, tak hanya oleh umat Islam, melalui ibadah haji. ”Arah kiblat merupakan garis spiritual karena semua manusia tertuju ke sana.”

Moedji lantas mencontohkan bagaimana Singapura menolak menyatukan waktunya berdasarkan perhitungan Waktu Indonesia Barat (WIB). Ini karena Singapura telah membuat perhitungan berdasarkan Waktu Indonesia Tengah (WITA), yang selisih satu jam dengan WIB. ”Mereka tak mau, meski hanya selisih sejam, karena mengalami kerugian tak sedikit,” katanya.

Namun demikian, sambungnya, upaya dalam konferensi di Qatar menyatukan perhitungan waktu berdasarkan Makkah, adalah sesuatu yang bisa dilakukan. ”Dari segi matematika itu bisa dilakukan.”

(has/eye/islamonline)

***Republika Online

http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=331350&kat_id=3




Tidak ada komentar:

Posting Komentar