Asal Muasal Jagat Raya: Cinta ala Rumi atau Evolusi ala Hawking-Darwin?

Oleh Maljaabro
Jawaban mo
del berseloroh seperti ini mengingatkan kita pada jawaban Santo Agustinus ketika ditanyakan kepadanya tentang apa yang dilakukan Tuhan sebelum peristiwa Big Bang itu terjadi. Jawab Agustinus: Tuhan sibuk membangun neraka buat orang-orang yang melontarkan pertanyaan seperti itu
Meneruskan tradisi rutin bulanan selama ini, Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tanggal 27 April 2009 menyelenggarakan sebuah diskusi dengan mengangkat tema “Agama, Sains, dan Teori Evolusi”. Diskusi yang berlangsung di Teater Utan Kayu, 68 H Jakarta, malam itu menghadirkan dua narasumber: Karlina L. Supelli dan Mulyadhi Kartanegara.
Secara tidak langsung tema ini diangkat dalam rangka memperingati 200 tahun kelahiran Charles Darwin, sang penggagas teori evolusi. Agak terlambat memang, sebab tarikh kelahiran Darwin tercatat pada bulan Desember, tepatnya pada tanggal 12 Desember 1809. Sedang bulan April sendiri tercatat sebagai bulan wafat Darwin. Darwin wafat pada 19 April 1882 di usia 72 tahun. Tetapi pokok soal yang didiskusikan pada malam itu sungguh bersifat lifetime, dengan demikian menjadi bersifat relatif terhadap waktu.
Kalau kita baca buku Stephen Hawking, Riwayat Sang Kala: Dari Dentuman Besar hingga Lubang Hitam ([A Brief History of Time] Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), juga buku Charles Darwin, Asal Usul Spesies ([The Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life] jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), kesadaran kita akan segera tergiring pada sebuah fakta mendasar bahwa sistem besar yang bekerja di jagat raya ini, baik jagat makro maupun mikro, tak lain adalah evolusi. Dari sejak berdirinya jagat raya hingga pembentukan “interior-interiornya”, sistem besar yang bekerja adalah evolusi.
Dalam buku A Brief History of Time, Hawking menjelaskan bahwa jagat raya ini bermula dari sebuah singularitas pada sekitar 10 milyar tahun lampau. Dari singularitas inilah terjadi Big Bang, sebuah dentuman besar. Setelah terjadi ledakan besar, jagat raya kemudian terus-menerus mengalami proses pemuaian. Dalam perjalanan pemuaian ini, temperatur jagat raya lambat laun mengalami penurunan. Pemuaian terus-menerus yang sekaligus dibarengi oleh penurunan temperatur, kodrat jagat raya kemudian berakhir pada sebuah singularitas, sebagaimana ia muncul awal mula. Pada singularitas kali ini, jagat raya akan mengalami Kerkahan Besar atau Big Crunch.  Perkiraan astronomis, dari waktu sekarang sampai terjadinya peristiwa Kerkahan Besar nanti, juga dibutuhkan waktu 10 milyar tahun. Kerkahan besar inilah yang dalam ramalan para ahli astronomi disebut sebagai akhir dari riwayat sang kala atau berakhirnya sang waktu. Dalam bahasa agama peristiwa Kerkahan Besar ini disebut sebagai Hari Akhir atau Kiamat Semesta.
Pada level jagat mikro, kita juga melihat hal yang sama. Sebagaimana halnya jagat makro bermula dari singularitas, jagat mikro juga bermula dari sebuah “singularitas”, yakni amoeba, makhluk bersel satu serba bisa di mana semua tugas dapat dilakukan olehnya tanpa mengalami tumpang tindih. Yang agak berbeda mungkin adalah apakah makhluk-makhluk yang beragam ini akan berakhir pada sebuah “singularitas” juga ataukah tidak, sebagaimana berakhirnya jagat makro.
Bermula pada sebuah kubangan kaldu purba yang pas komposisi adonannya, makhluk bersel satu tersebut kemudian mengalami proses spesiasi atau percabangan spesies baru, dari yang simpel sampai ke bentuk yang kompleks. Richard Dawkins, dalam bukunya, Sungai dari Firdaus: Suatu Pandangan Darwinian tentang Kehidupan (Jakarta: KPG, 2005, hal. 8), menyebut proses spesiasi itu sebagai “a long goodbye”, sebuah ucapan selamat tinggal yang sangat jauh oleh spesies baru terhadap spesies lama.
Mulyadhi malam itu menjelaskan peristiwa-peristiwa jagat raya ini dalam prespektif Rumian (Jalaluddin Rumi). Dalam perspektif Rumian, sistem besar yang bekerja di dalam alam raya bukanlah pertama-tama adalah evolusi, tetapi Energi Cinta. Cinta inilah yang menjelaskan munculnya jagat raya, modus berputar jagat raya, sampai terbentuknya makhluk-makhluk di dalamnya. Persis sebagaimana bunyi sebuah hadis qudsi yang sangat disukai oleh para ahli sufi dalam menjelaskan Tuhan dan asal mula alam raya:  kuntu kanzan makhfiyyan, fa ahbabtu an u’raf, fa khalaqtu khalqan (Pada mulanya, Aku adalah Khazanah Kesunyian. Tapi tak elok rasanya Aku terjebak lama dalam kesunyian, maka Ku ciptakanlah makhluk-makhluk itu).
Energi cinta itulah, dalam perspektif Rumian, yang menjelaskan kenapa Bumi setia berputar mengelilingi Matahari. Kalau saja bukan karena Cinta itu, niscaya Bumi sudah menelusuri jalannya sendiri, bergerak menjauh dari Matahari. Walhasil, benda-benda langit akan jatuh pada situasi chaos. Dengan perspektif Rumian ini, Mulyadhi seolah-olah ingin mengatakan bahwa sistem besar yang pertama-tama bekerja di dalam jagat raya ini adalah Cinta. Cinta sebagai first-line, evolusi sebagai second-line.
Menanggapi presentasi Mulyadhi yang didominasi penjelasan dengan argumentasi Cinta, Karlina melontarkan sebuah metafor yang cerdas dan sungguh sangat menohok tipikal para ahli sains: Cinta telah terkubur oleh gravitasi. Dalam bahasa yang agak vulgar mungkin metafor itu hendak mengatakan:  go to the hell with your Love!  Dengan metafor seperti ini, Karlina seolah-olah ingin mengkritik cara bereaksi kalangan agamawan yang seringkali menyeret hal-hal empirik ke wilayah non-empirik untuk mencarikan penjelasannya.
Jawaban model berseloroh seperti ini mengingatkan kita pada jawaban Santo Agustinus ketika ditanyakan kepadanya tentang apa yang dilakukan Tuhan sebelum peristiwa Big Bang itu terjadi. Jawab Agustinus: Tuhan sibuk membangun neraka buat orang-orang yang melontarkan pertanyaan seperti itu (Stephen Hawking, Riwayat Sang Kala. Jakarta: Pustaka utama Grafiti, 1995, hal. 9).
Dengan metafor Cinta telah terkubur oleh gravitasi, Karlina ingin mengatakan bahwa cara yang paling masuk akal untuk mengurai ruwetnya sejarah alam semesta ini, tak lain adalah teori evolusi. Kekurang-puasan pihak agamawan terhadap penjelasan dengan memakai argumentasi evolusi lebih disebabkan pemahaman mereka tentang teori evolusi seolah-olah teori ini menampik adanya Supreme Being atau Tuhan di balik peristiwa alam raya ini. Menanggapi tuduhan seperti itu, Karlina menjawab: Tuhan adalah ontologi yang dikleim oleh sekian banyak episteme.
Menurut Karlina, teori evolusi sama sekali tidak berkaitan dengan wilayah pertanyaan ambang batas seperti itu. Dalam wawancaranya di Harian Kompas (Rubrik Persona, 5 April 2009), Jorga Ibrahim --guru besar Astronomi ITB, Bandung-- menyebut pertanyaan demikian sebagai pertanyaan khas ilmuwan wilayah perbatasan. Dan sains sama sekali tidak berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan demikian, pertanyaan tentang dari dan kemana alam semesta beserta seluruh isinya bergerak (sangkan paraning dumadi). Karlina sendiri saat ditodong dengan pertanyaan seperti ini, ia mengatakan demikian: sejauh menyangkut wilayah empirik, kita bisa bersandar pada penjelasan sains. Di luar itu, kita tak bisa lain kecuali terantuk pada sebuah metafor.
Lebih jauh, menurut Karlina, teori evolusi harus dipahami bahwa dengan teori itu, para ahli sains meyakini adanya sejarah panjang yang melatar belakangi terbentuknya alam semesta dengan segala makhluk yang ada di dalamnya. Dengan teori evolusi ini, mereka ingin mengatakan bahwa alam semesta ini bukanlah peristiwa ahistoris, alam semesta punya sejarah panjang yang dilaluinya setapak demi setapak. Inilah yang sama sekali bertolak belakang dengan keyakinan dalam agama bahwa jagat raya beserta seluruh isinya muncul dengan sekonyong-konyong begitu saja persis ketika Tuhan bersabda:  Kun Fa Yakun (Ada lah, maka segala sesuatu sekonyong-konyong ada). Munculnya alam semesta secara sekonyong-konyong inilah yang ditolak oleh para ahli sains.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar